Pangkal buruknya praktik social distancing di Indonesia

"Ketika negara lemah," dirinya mengingatkan, "Ya, semuanya ragu-ragu."

Masyarakat antre menunggu bus TransJakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, saat penerapan social distancing dengan membatasi operasional, Senin (16/3/2020). Foto Antara/Nova Wahyudi

Masuk kuping kanan. Keluar kuping kiri. Begitulah implementasi imbauan pemerintah terkait pembatasan interaksi (social distancing). Masih banyak warga yang keluyuran di luar rumah.

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Erna Ermawati Chotim, menilai, langkah tersebut takefektif lantaran sikap pemerintah taktegas. Sekadar imbauan.

"Kalau imbauan, memang orang akhirnya mikir, 'Boleh, dong, keluar atau tidak keluar rumah?'" katanya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (20/3).

Semestinya, sikap pemerintah bersifat kewajiban. Sehingga, memaksa warganya tetap beraktivitas di dalam rumah. "Jadi, policy juga mestinya bisa bedakan. Antara imbauan dan keharusan," ujar dia.

Menurut Erna, kewajiban mesti diturunkan dalam regulasi. Macam instruksi presiden (inpres). Sebagai landasan pemberian sanksi terhadap pelanggar.