Pansus Papua DPD: Dari dialog yang buntu hingga tudingan jubah elite

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Pansus Papua guna menyelesaikan aneka persoalan di Papua. Kelompok di Papua menolak berdialog.

Presiden Joko Widodo (keempat kiri) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (ketiga kiri) mengunjungi lapangan bola Irai di Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, Minggu, (27/10).AntaraFoto

Persoalan di Papua masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang jauh dari usai. Setelah kasus rasisme dan pembakaran Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Agustus lalu, konflik demi konflik rutin menyambangi Bumi Cendrawasih.

Korban berjatuhan. Kemarahan masyarakat Papua kepada pemerintah tersulut. Desakan referendum, tuntutan keadilan, penyelesaian sejarah dan kasus HAM, dan penuntasan kasus rasisme dibalas lewat pendekatan militeristik. Upaya lainnya kini digodok di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Tapi bagaimana wujudnya masih belum jelas.   

Berangkat dari hal itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Panitia Khusus (Pansus) Papua. Pansus Papua DPD diharapkan bisa memberikan rekomendasi komprehensif untuk mewujudkan Papua damai dan sejahtera.

Dibentuk awal November 2019, pansus yang beranggotakan 15 orang itu langsung bekerja. Salah satu hasilnya adalah rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan beberapa hal dalam rangka pembuktian kerja mereka.

Pansus Papua DPD mendorong agar pemerintah menggelar dialog dengan semua elemen kelompok masyarakat Papua. Termasuk kelompok yang dianggap berlawanan dengan pemerintah, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).