Paranoia kampus usai HTI tercerai-berai

Seleksi pendakwah yang diperbolehkan naik ke atas mimbar di sejumlah kampus semakin ketat setelah HTI dibubarkan.

Pengawasan kajian-kajian agama di sejumlah kampus kian ketat pasca-HTI bubar. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Hujan deras mengguyur sebagian wilayah Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/2) petang itu. Di teras Masjid Kampus Universitas Diponegoro (Undip), Putra, Asoka, dan Firdaus duduk agak melingkar. Sembari menunggu hujan reda, ketiga aktivis lembaga dakwah Al-Fatih itu terlibat diskusi ringan. 

Rencana menggelar kajian agama di bulan Ramadan menjadi bahasan utama mereka. Urun pendapat di antara mereka mengalir dengan lancar. Namun, perbincangan mereka berbelok ke arah yang tak enak saat membahas ustaz yang bakal diundang mengisi kajian. 

Kepada kedua rekannya, Putra mengungkapkan hingga kini ustaz Adi Hidayat yang diusulkan jadi pembicara belum disetujui rektorat. "Ini gimana nih untuk ustaz. Nanti, enggak disetujui lagi. Kenapa sih kampus? Susah banget buat ngundang ustaz aja," kata Putra. 

Nama ustaz Adi memang tidak ada dalam daftar mubaligh yang disarankan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2018. Selain itu, ustaz Adi juga punya "dosa". Pada 2019, Direktur Quantum Akhyar Institute itu terang-terangan menyatakan dukungan kepada Prabowo-Subianto.

Keluh kesah serupa juga dituturkan Putra saat berbincang dengan Alinea.id usai diskusi itu. Menurut dia, pihak rektorat kian ketat mengawasi kajian-kajian agama di kampus setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pada 2017.