Kembali kedepankan moral dan etika: Pejabat melanggar etika seharusnya mundur

Perlu kembali menegakkan etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalkan melalui penerapan pendidikan moral Pancasila.

Ilustrasi moralitas dan etika. Foto istimewa

Persoalan etika dan moral menjadi perhatian publik sejak beberapa bulan terakhir. Khususnya setelah keluarnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres. Ditambah lagi dengan keengganan mantan Ketua MK Anwar Usman mundur jadi hakim konstitusi. Padahal telah dinyatakan melanggar kode etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Padahal, Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Di mana, Pancasila sangat menjunjung moralitas, khususnya dalam berbangsa dan bernegara. Baik itu yang dilakukan masyarakat biasa ataupun pemimpin negara. Ketika pemimpin kehilangan etika dan moral, maka dapat dipastikan bakal berdampak negatif pada integritas, penyalahgunaan kekuasaan, akuntabilitas, dan kepercayaan publik secara keseluruhan.

Hal itulah yang kemudian menyebabkan keprihatinan terhadap kesehatan demokrasi yang semakin serba pragmatis dan menjauh dari fondasi ketatanegaraan yang sehat, sesuai UUD 1945, Pancasila dan cita-cita nasional para pendiri bangsa. 

Tidak heran jika terkadang ada orang yang hanya mau tunduk kepada aturan saja sehingga main tipu-tipu pada persoalan moral. Padahal, Pancasila tidak hanya membicarakan persoalan hukum. Di Pancasila, ada norma agama, moral, dan kesusilaan.

"Hukum itu hanya satu aspek saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada di Pancasila. Celakanya banyak orang yang melanggar norma agama, kesusilaan, moral, dan mereka itu tenang-tenang saja. Karena tidak ada aparat negara yang bisa menghukum dia," kata Menkopolhukam Mahfud MD dalam Dies Natalis XXIV, Wisuda Program Sarjana XXI dan Program Studi Program Magister Hukum V 2022/2023, yang dipantau online, Kamis (30/11).