Pemerintah diminta berhati-hati melonggarkan PSBB

Kebijakan PSBB sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari  sukses.

Sejumlah kendaraan memadati ruas jalan di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa (19/5).Foto Antara/Muhammad Adimaja/hp.

Wacana pelonggaran sudah membawa dampak Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah. Sebabnya tidak lain adalah komunikasi yang kurang baik, bahkan kacau dari pejabat pemerintah, mulai dari awal penghindaran dan menolak (denieal) terhadap Covid-19.

Pendiri INDEF Didik J Rachbini, mengatakan, situasi itu tidak terlepas dari komunikasi yang menjadi blunder yang dilakukan pemerintah. Jumlahnya sangat banyak, di antaranya pernyataan "cukup makan nasi kucing dari menteri", "minum saja susu kuda liar dari wapres", kebingungan memahami larangan mudik dan pulang kampung "oke" dari presiden sendiri, sebagai materi komunikasi yang salah kaprah dan ditanggapi negatif oleh masyarakat.

"Potensi kegagalan suatu kebijakan publik sudah terjadi di awal, ketika komunikasi seperti ini bukan hanya tidak baik atau buruk, tetapi bahkan salah kaprah, sehingga kebijakan tidak efektif. Hasil dari kebijakan tersebut terlihat pada saat ini, di mana terjadi kebingungan publik di tengah simpang siur kebijakan yang tidak konsisten," terang dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/5).

Oleh karena itu, dia berharap presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarakat luas. Ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan.

Apalagi berdasarkan sejarah, pada satu abad yang lalu pernah terjadi pandemi influenza di Indonesia, dan memakan korban yang sangat besar, yakni sampai kisaran 20% dari penduduk meninggal dunia.