Pemetaan masjid terkait radikalisme dinilai mendatangkan stigma buruk dan kecurigaan

Rencana program itu justru kontraproduktif bagi situasi kamtibmas serta berdampak negatif terhadap hubungan antara Polri dan masyarakat.

ilustrasi. foto Pixabay

Psikolog forensik Reza Indri Amriel mengkritisi pemetaan masjid terkait radikalisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rencananya, BNPT menggandeng Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk kegiatan tersebut.

"Kita sepakat terorisme harus dilawan. Tapi haruskah lewat pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI? Rencana program itu malah terkesan mirip The NYPD Muslim Surveillance Program. Setelah digugat, NYPD bayar settlement sekitar 80 ribu dolar kepada masjid dan warga yang dirugikan," kata Reza kepada Alinea.id, Minggu (30/1).

Reza mengatakan, terdapat sejumlah kerumitan dari rencana program pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI tersebut. Menurutnya, per Maret 2021, terdapat 598 ribuan masjid se-Indonesia. Data Dewan Masjid Indonesia, hingga tahun 2020 jumlah masjid adalah 800 ribu hingga 900 ribu. Dengan demikian, pemantauan terhadap suatu objek yang tidak kasat mata (paham, ideologi, isme) terhadap ratusan ribu masjid pasti sulit sekali dilakukan.

Kemudian, dibutuhkan parameter dan indikator yang akurat dan lengkap untuk menyimpulkan secara valid masjid mana saja yang menyebarkan radikalisme dan terorisme.

"Begitu pula dari sisi reliabilitas. Ketika sebuah masjid dicap berafiliasi dengan terorisme, berapa lama cap itu akan berlaku? Pasti perlu monitoring berkala, dan itu mahal dari segi anggaran," ujar Reza.