sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemetaan masjid terkait radikalisme dinilai mendatangkan stigma buruk dan kecurigaan

Rencana program itu justru kontraproduktif bagi situasi kamtibmas serta berdampak negatif terhadap hubungan antara Polri dan masyarakat.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Minggu, 30 Jan 2022 17:22 WIB
Pemetaan masjid terkait radikalisme dinilai mendatangkan stigma buruk dan kecurigaan

Psikolog forensik Reza Indri Amriel mengkritisi pemetaan masjid terkait radikalisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rencananya, BNPT menggandeng Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk kegiatan tersebut.

"Kita sepakat terorisme harus dilawan. Tapi haruskah lewat pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI? Rencana program itu malah terkesan mirip The NYPD Muslim Surveillance Program. Setelah digugat, NYPD bayar settlement sekitar 80 ribu dolar kepada masjid dan warga yang dirugikan," kata Reza kepada Alinea.id, Minggu (30/1).

Reza mengatakan, terdapat sejumlah kerumitan dari rencana program pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI tersebut. Menurutnya, per Maret 2021, terdapat 598 ribuan masjid se-Indonesia. Data Dewan Masjid Indonesia, hingga tahun 2020 jumlah masjid adalah 800 ribu hingga 900 ribu. Dengan demikian, pemantauan terhadap suatu objek yang tidak kasat mata (paham, ideologi, isme) terhadap ratusan ribu masjid pasti sulit sekali dilakukan.

Kemudian, dibutuhkan parameter dan indikator yang akurat dan lengkap untuk menyimpulkan secara valid masjid mana saja yang menyebarkan radikalisme dan terorisme.

"Begitu pula dari sisi reliabilitas. Ketika sebuah masjid dicap berafiliasi dengan terorisme, berapa lama cap itu akan berlaku? Pasti perlu monitoring berkala, dan itu mahal dari segi anggaran," ujar Reza.

Menurut Reza, rencana pemetaan itu menstigma masjid sebagai satu-satunya rumah ibadah yang dianggap bermasalah. "Ini pertanda bias sekaligus gross generalization terhadap rumah ibadah tertentu," kata dia.

Selain itu, pemetaan bisa menggangu keharmonisan relasi antar umat Islam (jamaah masjid) sendiri. Bisa jadi, pemetaan membuat umat saling menaruh prasangka. Bahkan polisi yang datang ke masjid sebatas untuk shalat pun bisa disikapi sebagai orang yang mencurigakan.

"Isme-isme destruktif pada masa kini menyebar deras lewat situs-situs internet dan media sosial. Self-radicalization dan self-recruitment adalah mekanismenya. Penyebaran seperti itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun. Alhasil, dengan nature regenerasi teror sedemikian rupa, apa justifikasi Polri dan BPET MUI untuk melakukan pemetaan sekaligus pemantauan terhadap masjid?," tegas Reza mempertanyakan.

Sponsored

Jika terlaksana, kata Reza, rencana program itu justru kontraproduktif bagi situasi kamtibmas serta berdampak negatif terhadap hubungan antara Polri dan masyarakat. Menurutnya, sayang jika kesadaran yang sudah terbangun untuk melawan terorisme justru setback akibat program pemetaan tersebut. Apalagi andai nantinya warga yang merasa dirugikan menggugat Polri untuk bayar settlement, bisa terkuras anggaran Polri.

"Soft approach, begitu kabarnya pemetaan masjid akan dilakukan. Tapi hard hit, itu ekses yang justru mungkin terjadi. Jadi, timbanglah kembali. Batalkan, lebih baik lagi," pungkas Reza.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid