Penanganan anak pelaku unjuk rasa mesti berprinsip perlindungan anak

Penanganan anak yang terlibat unjuk rasa tidak menimbulkan masalah baru.

Massa mahasiswa, buruh dan pelajar Lampung yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPRL) berunjuk rasa di Tugu Adi Pura Bandar Lampung, Lampung, Senin (30/9).AntaraFoto

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengharapkan penanganan kasus anak yang terlibat aksi unjuk rasa pada 24 September dan 30 September, menghormati hak dasar anak. Untuk memberikan keadilan dalam penanganannya, Tim Terpadu Perlindungan Anak telah dibentuk Rabu (2/10).

Ditemui di kantor KPAI, Jakarta, Kamis (3/10), Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah, mengharapkan penanganan anak yang terlibat unjuk rasa tidak menimbulkan masalah baru.

“Tidak boleh menutup mata untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang terlibat unjuk rasa,” tutur Ai.

Dalam temuan KPAI, sejumlah ancaman muncul terhadap anak yang terlibat dalam unjuk rasa. Seperti disebutkan pula dalam rilis KPAI, Kamis (3/10), masyarakat baik secara perorangan maupun organisasi telah menyampaikan pengaduan resmi ke KPAI terkait banyaknya pelajar peserta aksi di sejumlah daerah yang terancam kehilangan hak atas pendidikan. Anak pelaku unjuk rasa juga diancam tidak dapat lulus dari sekolah dan tidak dapat menikmati Kartu Jakarta Pintar.

Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, menekankan adanya ancaman terhadap pelajar yang dimasukkan dalam sistem pencatatan kepolisian dan tidak akan mendapatkan SKCK. Di Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, sejumlah pelajar berusia 16–17 tahun dimasukkan ke dalam Sistem Catatan Kepolisian dan tidak akan mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Hal ini membuat hak anak untuk melanjutkan pendidikan dan melamar pekerjaan terancam tak terpenuhi.