Pengamat: Teknologi intelijen tak bisa tangkal aksi teror ZA

Upaya memitigasi aksi teror dengan mendeteksi potensi radikalisme seseorang sangat sulit.

Polisi bersenjata lengkap berjaga di lokasi kejadian baku tembak di lingkungan Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Alinea.id/Ayu Mumpuni

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi menyebut, teknologi dan intelijen secanggih apapun, seperti di Eropa dan Amerika Serikat, tidak akan bisa menangkal aksi terorisme. Dia menganggap, aksi teror Zakiah Aini di Mabes Polri bukanlah suatu kecolongan. 

Sebab, upaya memitigasi aksi teror dengan mendeteksi potensi radikalisme seseorang sangat sulit. "Tidak bisa mengukur batin seseorang. Intelijen secanggih apapun tetap berbasis teknologi. Mempelajari peta-peta (radikalisme) dan gestur-gestur secara komunal. Tetapi, kalau secara personal ini pasti akan lemah. Itu diluar kontrol, seperti ZA kemarin di Mabes Polri,," ucapnya dalam diskusi Alinea Forum ‘Memperkuat Kontra Radikalisme’, Rabu (7/4).

Dia khawatir, lone wolf (seseorang melakukan tindakan terorisme sendirian dan di luar struktur komando apapun) menjadi tren aksi teror ke depan. Menurut Islah, untuk mencegahnya, perlu memperkuat sektor hulu, yaitu masyarakat harus memiliki resisten (penolakan) terhadap radikalisme.

Jika yang diperkuat hanya sektor hilir atau penindakan aparat penegak hukum, maka aksi teror akan terus terjadi. Penguatan pencegahan radikalisme harus dari keluarga.

"Betapa pentingnya keluarga di sini, karena anak mencontoh orang tuanya. Ini mungkin konsep-konsep yang sudah dilakukan di beberapa negara terutama di Thailand Selatan dan Srilangka. Ketika ada konflik etnis atau agama (akhirnya bisa diatasi dengan) penolakan radikalisme sacara terkultur, membudaya," tutur Islah.