APHI: Penyelesaian perizinan yang mendirikan usaha di areal perhutanan tumpang tindih

Pemegang ijin lokasi kebun akan ikuti proses penyelesaian persyaratan paling lambat tiga tahun. Itu tertuang pada Pasal 110 A UU Ciptaker.

Seorang petani melakukan penyadapan getah karet di Perkebunan PTPN VIII Panglejar, Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. /AntaraFoto

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai, penyelesaian persoalan perizinan perusahaan yang mendirikan usaha di areal perhutanan tumpang tindih, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusaha Hutan (HPH). 

Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto menyarankan, skema penyelesaian itu dapat dimasukan dalam aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). 

"Pertama, kalau ijin lokasi dalam hal ini kebun, yang diterbitkan sebelum izin usaha kehutanan, maka kalau sejak awal sesuai dengan peraturan daerah (perda) dan tataruang, ternyata posisinya sudah non kawasan hutan, maka terhadap tumpang tindih itu akan dilakukan adendum terhadap ijin yang ada," kata Purwadi, dalam RDPU Komisi IV DPR RI, yang disiarkan secara virtual, Kamis (12/11).

Selanjutnya, pemegang ijin lokasi atau pengusaha kebun akan mengikuti proses penyelesaian persyaratan paling lambat tiga tahun, sebagaimana aturan dalam Pasal 110 A klaster kehutanan UU Ciptaker. Diketahui, norma tersebut mengatur terkait penyelesaian terhadap persoalan perusahaan yang belum memiliki persyaratan tataruang. Setidaknya terdapat tiga ayat dalam Pasal 110 A.

(1). Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.