Pola berulang eksekusi mati pekerja migran Indonesia

Tuti hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi MAnusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi.

Suasana rumah duka Tuti Tursilawati TKI yang dihukum mati di Arab Saudi di kediamannya di Desa Cikeusik, Majalengka, Jawa Barat, Jumat (2/1)./AntaraFoto


Jaringan Buruh Migran (JBM) menyatakan tindakan eksekusi mati yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi merupakan pola yang seringkali terjadi terhadap PRT migran Indonesia. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1963 yang di dalamnya memandatkan kewajiban terkait notifikasi resmi tertulis.

“Padahal pemerintah Arab Saudi  juga sudah meratifikasi Konvensi Wina tersebut,” kata Seknas JBM Savitri Wisnuwardani di Jakarta, Minggu (4/11).

Kasus Tuti Tursilawati dalam proses hukum di Arab Saudi dikategorikan sebagai pelanggaran Hadd ghillah (perbuatan pidana yang tidak bisa dimaafkan kecuali oleh Tuhan), kasus ini juga tidak bisa dinegosiasikan menjadi kasus qisas yang dapat dimaafkan atau dibayar dengan denda. 

Tuti hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi MAnusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi. Situasi kerja tidak layak, sistem khafallah yang tertutup, adanya kebijakan yang belum melindungi buruh migran menjadi penyebab utama kasus ini. 

Berbagai kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM seperti penganiayaan, gaji yang tidak dibayarkan, pelecehan dan kekerasan seksual, kriminalisasi hingga berujung pada kematian karena dibunuh, eksekusi hukuman mati terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan dari buruknya situasi dan kondisi kerja di Arab Saudi. Hal ini diperparah dengan adanya system khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan.