Polemik mata pelajaran sejarah dan mendesaknya rekonstruksi

Draf penyederhanaan kurikulum bocor. Sejarah disebut hanya jadi mata pelajaran pilihan di SMA dan dihapus di SMK. Seberapa penting?

Ilustrasi siswa belajar sejarah di sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Sebuah draf berjudul Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional yang dikeluarkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi perbincangan hangat dalam diskusi virtual bertajuk “Matinya Sejarah: Kritik terhadap Rancangan Kurikulum 2020”, yang diadakan Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada Kamis (17/9).

Di dalam draf itu disebutkan, mata pelajaran sejarah hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di kelas X dan mata pelajaran pilihan di kelas XI dan XII. Sedangkan di SMK, dinyatakan tak ada mata pelajaran sejarah. Hal ini kemudian menjadi polemik.

Iman Zanatul Haeri, guru sejarah di Madrasah Aliyah Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan, yang menjadi salah seorang peserta diskusi mengaku geram melihat struktur kurikulum yang ada di dalam draf tersebut. Sebab, katanya, mata pelajaran sejarah awalnya wajib di kurikulum 2013 dan berstatus peminatan untuk jurusan IPS.

“Dalam draf itu yang wajib jadi pilihan, yang peminatan menjadi hilang,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (18/9).

Herry Anggoro Djatmiko, guru sejarah di Madrasah Aliyah Subhanah, Batang, Jawa Tengah menilai, bila sejarah dijadikan mata pelajaran pilihan di SMA, maka membuat siswa lebih cenderung memilih belajar sejarah dari media sosial, yang sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab, interaksi dengan guru di sekolah semakin sedikit.