Polri dinilai terlambat terapkan restoratif justice

Perubahan penanganan perkara UU ITE di Polri dianggap multitafsir. 

Mabes Polri, DKI Jakarta. Google Maps/Aditya Wicaksono

Polri tengah melakukan perubahan strategi penanganan kasus. Perkara tindak pidana dengan pasal sangkaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), salah satunya, dan kini mengedepankan pendekatan dengan menitikberatkan keadilan dan keseimbangan antara korban dan pelaku (restorative justice).

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, penerapan restorative justice oleh Polri terbilang terlambat. Jika dibandingkan dengan instansi penegak hukum lain, salah satunya Kejaksaan Agung (Kejagung), sebanyak 224 perkara tidak dilanjutkan ke pengadilan karena mengedepankan pendekatan tersebut.

"Ya, karena Polri kemarin-kemarin itu pendekatannya positivis, terlalu menonjolkan peran penegak hukumnya," katanya kepada Alinea, Kamis (25/2).

Meski demikian, Fickar berpandangan, penanganan perkara UU ITE berdasarkan Surat Edaran (SE) Kapolri tersebut akan memberikan efek besar dalam penegakan hukum ke depan. Namun, ada multitafsir mengenai jenis perkara yang dapat diproses dengan menggunakan sistem mediasi.

"Ini yang multitafsir. Seharusnya pasal ini diubah deliknya menjadi delik materiil, artinya permusuhan antarindividu atau golongan masyarakat berdasar SARA harus sudah terjadi. Kalau tidak rawan menjadi eksesif ditafsirkan semaunya," ucapnya.