Proses seleksi calon hakim tipikor marak cacat administrasi

Dari tak lapor LKHPN hingga berasal dari kalangan politikus.

Peneliti Masyarakat Pemantau Pengadilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) Joshua Kolin (kiri), Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha (kedua kiri), Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu (kedua kanan), serta Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun selaku moderator (kanan), saat jumpa pers, di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Minggu (7/7). Alinea.id/ Achmad Al Fiqri.

Proses seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi yang diselenggarakan Mahkamah Agung (MA) diktritik Koalisi Pemantau Peradilan (KKP). Berdasarkan analisis terhadap rekam jejak 125 calon hakim, KKP masih menemukan banyak kelalaian yang dilakukan panitia seleksi. 

"KKP mencatat setidaknya terdapat lima poin utama yang perlu diwaspadai oleh panitia seleksi dalam merekrut calon hakim ad hoc tipikor," kata peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Minggu (7/7). 

Pertama, lanjut Rizki, terkait kelengkapan dokumen syarat administratif. Menurut Rizki, masih banyak calon hakim ad hoc tipikor yang tidak memenuhi persyaratan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Disebutkan pada Pasal 12 UU tersebut, calon hakim ad hoc harus memenuhi sejumlah persyaratan di antaranya, warga negara Indonesia, bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan sarjana hukum serta berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 tahun.

Selain itu, calon hakim juga tidak boleh menjadi pengurus dan anggota partai politik; jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik; berumur setidaknya 40 tahun pada saat proses; tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; serta melaporkan harta kekayaannya atau LKHPN.