Rapid test justru dinilai picu penularan virus

Pakar Epidemiologi UI menilai pendeteksian metode pengujian rapid test tak akurat.

Petugas kesehatan mengambil sampel darah warga saat Rapid Test Covid-19 di Taman Balai Kota, Bandung Jawa, Barat Sabtu (4/4)/Foto Antara/Novrian Arbi.

Mereka yang dinyatakan non-reaktif Covid-19 dari hasil pengujian sampel tes cepat atau rapid test dinilai menjadi pusat penyebaran coronavirus. Pangkalnya, rapid test dinilai tidak efektif untuk mendeteksi virus yang muncul pertama kali dari Kota Wuhan, China, itu.

Pakar epidemologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menjelaskan pendeteksian melaui metode pengujian rapid test tidak akurat. Sebab, jelas dia, hasil tersebut dapat keluar secara singkat, sedangkan antibodi sesorang yang terinfeksi virus akan terbentuk dalam kurun waktu 10 hari.

"Makanya, dalam minggu pertama hasilnya akan nonreakitf, yang nonreaktif itu membawa virus, terus menularkan," kata Pandu dalam diskusi bertajuk "Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru," disiarkan Trijaya FM, Sabtu (11/7).

Menurutnya, penyebab membeludaknya jumlah kasus di Surabaya diakibatkan oleh orang yang mempunyai hasil non-reaktif dari metode pengujian rapid test.

"Itu yang terjadi di Surabaya, yang terjadi di kota-kota lain, dimana-mana tiba-tiba terjadi lonjakan luar biasa. Kita terlambat mendeteksi itu," papar Pandu.