Restorative justice bisa kurangi anggaran penanganan narkotika

Kejaksaan Agung sudah menerapkan restorative justice pada 23 kasus narkotika, di mana salah satunya ditolak.

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan. Foto: dpr.go.id/Jaka/Man

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan, meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memaksimalkan kebijakan restorative justice atau keadilan restoratif pada kasus narkotika. Menurutnya, penerapan restorative justice bisa mengurangi anggaran penanganan narkotika di Tanah Air, termasuk mengatasi masalah over kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas).

"Sehingga jikalau RJ (restorative justice) ini dimaksimalkan pada sektor narkotika, saya yakin anggaran kita lebih bisa dikurangi dan menyelesaikan soal mengenai pemakai atau korban," kata Hinca dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Senayan, Jakarta, Rabu (23/11).

Usulan Hinca ini berangkat dari adanya penghargaan dunia internasional yang diterima Kejagung RI yakni International Association of Prosecutors (IAP) untuk kategori Special Achievement Award (SSA) untuk pelaksanaan restorative justice. Selain Indonesia, IAP Awards 2022 juga diberikan kepada Inggris.

Hinca mengatakan, penerapan restorative justice yang diusulkan pada 2020, berangkat dari kasus Kakek Sarimin, setidaknya mendapat apresiasi dunia. Pula, hingga saat ini, Kejaksaan Agung sudah menerapkan restorative justice pada 23 kasus narkotika, di mana salah satunya ditolak.

Maka dari itu, lanjut dia, setidaknya penerapan RJ dimaksimalkan pada kasus narkotika untuk level pengguna yang dinilainya sebagai korban.