Revisi UU Terorisme tersandera pelanggaran HAM

Bukan sekadar menyegerakan penuntasan revisi UU Terorisme, namun menggagas aturan berimbang antara keamanan nasional dan perlindungan HAM.

Warga bersama polisi mengikuti aksi solidaritas dan doa untuk korban serangan teroris di Solo, Jawa Tengah, Senin (14/5)./ Antarafoto

Ayom Panggalih tak pernah menyangka akan menerima perlakuan tak menyenangkan dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Hari itu, Selasa, 29 Desember 2015 siang, ia baru saja bertolak dari rumah menuju masjid terdekat, untuk sembahyang dzuhur. Tiba-tiba muncul lima mobil Innova di sekitar showroom motor miliknya, depan SMA Al Islam Solo. Dari dalam mobil, keluar sejumlah orang yang mengacungkan pistol ke arahnya. Spontan ia lari lintang pukang dengan motornya karena ketakutan. Naas, di kelokan jalan, ada satu mobil Innova yang menabrak motornya.

Usai terpental jauh dan tersungkur di aspal jalan, anggota Densus 88 langsung memegang kepalanya dan menekannya ke aspal. Tangannya diborgol, wajah ditutupi sweater, sementara todongan senjata tak pernah menyingkir dari wajahnya. Sejurus kemudian, ia didorong masuk ke mobil itu dengan posisi kepala ditekan ke lantai oleh petugas.

Ayom digelandang ke Polsek Laweyan bersama rekannya yang juga ditangkap, Nur Syawaludin. Usut punya usut, ternyata keduanya bukanlah target yang disasar Densus 88. Setelah sempat diinjak-injak di dalam mobil, lalu dimasukkan ke sel di Polsek Laweyan, keduanya dilepaskan begitu saja. Tak ada permintaan maaf dari petugas Densus 88.

Salah tangkap ini bukan kali pertama dilakukan oleh petugas Densus 88. Pada Mei 2014, juga di Solo, seorang warga Desa Banyu Harjo Kadir ditangkap petugas Densus 88. Lalu pada akhir Juli 2013, petugas juga salah tangkap warga Muhammadiyah. Yang tak kalah mencengangkan, pada 2012, sebanyak 14 warga Poso Sulawesi Tengah pernah jadi target empuk penangkapan, kendati tak terlibat aksi terorisme.

Tindak salah tangkap, yang tak jarang diikuti kekerasan baik psikis maupun fisik, hanya satu dari sekian ekses yang muncul, dari kewenangan despotik petugas Densus 88 untuk menindak pelaku terduga teroris. UU Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 yang menjadi alat legitimasi bagi petugas melakukan inisiatif tindakan termasuk penangkapan, banjir kritik. Tak heran jika kemudian, UU tersebut diusulkan untuk direvisi di DPR RI.