Saat diaspora "menolak" BRIN 

Banyak diaspora ogah jadi peneliti BRIN lantaran persoalan gaji dan lainnya.

Ilustrasi peneliti BRIN dari kalangan diaspora. Alinea.id/Aisya Kurnia

Rosiana, bukan nama sebenarnya, tak pernah menyesali keputusannya untuk hengkang dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Januari lalu. Meskipun sudah dinyatakan lolos sebagai salah satu peneliti BRIN di bidang lingkungan, Rosiana ogah lama-lama berkarier di lembaga pimpinan Laksana Tri Handoko itu. 

"Semula saya pikir masuk ke BRIN sepertinya menarik. Jadi, dulu ada semacam sharing gitu bahwa BRIN yang baru itu kita bisa diberikan kebebasan untuk membuat riset. Kemudian, kerja lebih fleksibel dan seterusnya. Terus, juga iklim yang sangat bagus," tutur Rosiana saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Sebelum diangkat sebagai peneliti BRIN, Rosiana mengikuti serangkaian seleksi calon aparatur sipil negara (ASN) selama setahun. Pada masa itulah, Rosiana bertemu rekan-rekan sesama peneliti yang "putus asa" dengan situasi di BRIN. Mereka menasihati Rosiana untuk meniti karier di tempat lain. 

"Yang dulu dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada bilang, 'Kamu jangan masuk deh. Semua tidak seperti yang kamu bayangkan'," kata Rosiana menirukan ucapan kolega-koleganya.

Mendengar keluhan rekan-rekannya, Rosiana pun langsung gamang. Kegalauan perempuan berusia 40 tahun itu kian menjadi usai menyaksikan diskusi-diskusi virtual bertema arah riset yang rutin digelar di internal BRIN.