sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat diaspora "menolak" BRIN 

Banyak diaspora ogah jadi peneliti BRIN lantaran persoalan gaji dan lainnya.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 16 Des 2022 14:03 WIB
Saat diaspora

Rosiana, bukan nama sebenarnya, tak pernah menyesali keputusannya untuk hengkang dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Januari lalu. Meskipun sudah dinyatakan lolos sebagai salah satu peneliti BRIN di bidang lingkungan, Rosiana ogah lama-lama berkarier di lembaga pimpinan Laksana Tri Handoko itu. 

"Semula saya pikir masuk ke BRIN sepertinya menarik. Jadi, dulu ada semacam sharing gitu bahwa BRIN yang baru itu kita bisa diberikan kebebasan untuk membuat riset. Kemudian, kerja lebih fleksibel dan seterusnya. Terus, juga iklim yang sangat bagus," tutur Rosiana saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Sebelum diangkat sebagai peneliti BRIN, Rosiana mengikuti serangkaian seleksi calon aparatur sipil negara (ASN) selama setahun. Pada masa itulah, Rosiana bertemu rekan-rekan sesama peneliti yang "putus asa" dengan situasi di BRIN. Mereka menasihati Rosiana untuk meniti karier di tempat lain. 

"Yang dulu dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada bilang, 'Kamu jangan masuk deh. Semua tidak seperti yang kamu bayangkan'," kata Rosiana menirukan ucapan kolega-koleganya.

Mendengar keluhan rekan-rekannya, Rosiana pun langsung gamang. Kegalauan perempuan berusia 40 tahun itu kian menjadi usai menyaksikan diskusi-diskusi virtual bertema arah riset yang rutin digelar di internal BRIN.

"Saat itu, saya merasa riset yang terlalu dikedepankan adalah riset teknologi yang merujuk pada Jepang. Saya merasa ilmu sosial dikesampingkan," ujar Rosiana.

Saat berstatus sebagai periset BRIN, Rosiana juga menyaksikan penelitian rekan-rekannya berantakan lantaran tak didukung dana riset yang memadai. Sebagian rekannya bahkan harus mengeluarkan duit dari kocek sendiri untuk memastikan riset tetap berjalan.

"Yang dikasih tambahan dana (untuk riset) itu hanya untuk hal-hal yang kecil, untuk beli ember dan seterusnya. Jadi, enggak subtansial dengan tujuan riset yang dia punya," kata Rosiana.

Sponsored

Sebagai peneliti BRIN, Rosiana kala itu digaji Rp1,7 juta di luar tunjangan. Tanpa merinci angka total pendapatan bulanannya, Rosiana merasa gaji dan tunjangan yang disiapkan BRIN untuk para peneliti terlalu kecil. Apalagi, BRIN juga tak membolehkan peneliti menggarap proyek sampingan dari luar. 

Ia membandingkan dengan gaji yang ia peroleh saat bekerja sebagai konsultan di lembaga penelitian internasional selama belasan tahun. "Waduh, kalau full time dengan gaji Rp1,7 juta, ya, maaf saja. Waktu dua puluh tahun lalu saya lulus S-1, gaji saya sudah start (mulai) dari Rp5 juta," tutur Rosiana. 

Ketimbang berkarier di BRIN, Rosiana memilih meneruskan profesinya sebagai konsultan. Ia bercerita banyak periset dari kalangan diaspora dan peneliti pemula juga memilih mengundurkan diri lantaran persoalan gaji dan sulitnya memperoleh dana riset di BRIN.

"Ada beberapa teman diaspora juga mundur karena hal ini. Kalau benar-benar dikasih kebebasan riset serta diberikan remunerasi yang cukup dan sepadan, mereka mungkin bertahan. Tapi, kalau remunerasi kayak gitu, tentu sudah enggak masuk akal. Apalagi, hidup (dengan gaji sebesar itu) di Jakarta," kata Rosiana.

Di luar hal-hal yang bersifat teknis dan administratif, Rosiana terutama tak setuju dengan keberadaan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Ia merasa kehadiran Megawati bikin BRIN tak lagi ideal sebagai lembaga riset yang tujuan utamanya mengembangkan pengetahuan.

"Lembaga riset itu harus bebas dari intervensi politik. Jadi, ngapain juga saya melepas karier saya yang sebenarnya sudah bagus banget dan jejaring yang aku punya tuh sudah bagus. Ya, sudah, aku memilih mengabdi kepada Indonesia dengan cara yang berbeda saja," kata Rosiana.

Suasana pengambilan sumpah janji PNS dan pelantikan jabatan fungsional di lingkungan BRIN awal Januari 2022. /Foto dok. BRIN

Ramai-ramai mundur? 

Sumber Alinea.id di internal BRIN membenarkan banyak peneliti dari kalangan diaspora yang tak betah di BRIN. Selain karena gaji dan dana riset yang kecil, peneliti dari kalangan diaspora juga merasa tak cocok dengan iklim riset yang kaku di BRIN. 

"Ada sekitar tiga puluhan orang peneliti diaspora yang mengundurkan diri. Saya lihat, dari WhatsApp group mereka, kemarin yang keterima CPNS peneliti itu di awal tahun mengundurkan diri," kata dia kepada Alinea.id, Selasa (6/12).

Informasi mengenai maraknya periset yang hengkang dari BRIN juga dibenarkan peneliti dari Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN Riris Katharina. Ia menyebut persoalan cekaknya dana riset dan sistem kerja yang tak ideal jadi alasan utama kalangan diaspora ogah berkarier di BRIN. 

"Mereka rata-rata mengundurkan diri itu karena enggak cocok dengan sistem sekarang yang sulit untuk mendapatkan dana riset memadai. Kondisi suasana riset di BRIN sekarang juga membuat mereka merasa tidak bisa mengembangkan riset mereka di dalam negeri," ucap Riris kepada Alinea.id, Kamis (24/11).

Ia mendapat informasi ada puluhan peneliti diaspora yang sudah dinyatakan lolos seleksi CPNS 2021 memilih mengundurkan diri. "Bahkan, mereka tidak lapor diri dan mengurus verifikasi pemberkasan setelah dinyatakan lolos," imbuh dia. 

Pelaksana tugas Kepala Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia (BRIN) Ratih Retno Wulandari membantah kabar yang menyebut para peneliti dari kalangan diaspora ramai-ramai keluar dari BRIN. Ia mengklaim hanya satu peneliti dari kalangan diaspora yang mundur dari BRIN sepanjang setahun terakhir. 

"Yang bersangkutan mendapatkan pendanaan riset dari pemerintah AS. Tidak sesuai dengan peraturan. Tetapi, yang bersangkutan akan kembali ke BRIN dan daftar lagi dua tahun ke depan," ucap Ratih kepada Alinea.id, Minggu (11/12).

Ratih membenarkan bila aturan di BRIN belum sepenuhnya fleksibel untuk peneliti dari kalangan diaspora. BRIN, misalnya, hingga kini tak memperbolehkan para peneliti menggarap riset yang dananya berasal dari asing.

Lewat program Manajemen Talenta Nasional pada 2021, BRIN membuka 325 posisi untuk peneliti pada 2021. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sempat mengungkap target memulangkan sebanyak 500 peneliti diaspora setiap tahunnya. 

Ilustrasi peneliti BRIN. /Foto dok. BRIN

Perlu model kerja berbeda

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto memandang wajar jika berkarier sebagai peneliti BRIN tak menarik bagi kalangan diaspora. Ia menyebut fasilitas dan fleksibilitas kerja sebagai peneliti di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan di luar negeri. 

"Itu merupakan kendala sejak dulu yang belum terpecahkan... Bukan hanya soal fasilitas, kualitas lab dan bahan penunjang saja, tetapi juga sarana informasi dan jaringan ilmiah, semisal pendanaan jurnal dan seminar internasional, fleksibilitas kerja dan juga sistem reward-nya," ujar Mulyanto kepada Alinea.id, Minggu (11/12).

BRIN, kata Mulyanto, semestinya membangun sistem kerja dan target yang berbeda bagi kalangan peneliti diaspora. Terkait itu, ia mengusulkan agar BRIN membahasnya dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Mereka harus diperlakukan khusus, dengan target khusus. Bukan seperti peneliti PNS biasa. Tidak mudah membawa diaspora yang sudah mapan meneliti di luar negeri ke Indonesia," terang politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Mulyanto berujar BRIN bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Korea Selatan (Korsel). Pemerintah Korsel, kata dia, membangun sistem kerja yang fleksibel untuk kalangan peneliti diaspora agar mau mengabdi untuk negara mereka. 

"Mereka direkrut khusus dan diperlakukan seperti saat mereka menjadi diaspora di luar negeri dulu, baik fleksibilitas maupun suasana kerja. Dengan begitu, produktivitas dan kreativitas mereka tetap terjaga," ucap Mulyanto.


 

Berita Lainnya
×
tekid