Rektor UII: SP3 di KPK lebih sederhana daripada penegak hukum lainnya

Putusan MK dinilai bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.

Gedung Mahkamah Konstitusi, DKI Jakarta, Juni 2014. Google Maps/Miqdad Abdul Halim

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) kontradiktif dengan Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut dia, MK justru memberikan peluang yang lebih luas dengan bisa memberikan SP3 dua tahun setelah dikeluarkannya surat perintah pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Putusan MK ini, mengakibatkan model SP3 di KPK lebih sederhana dan ringan daripada penggunaan kewenangan SP3 pada lembaga penegak hukum lainnya.

"Hal ini, kontradiktif dengan pertimbangan bahwa KPK adalah lembaga khusus yang menangani tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime. Mestinya, dengan kewenangan besar untuk menangani extra ordinary crime, maka persyaratan penggunaan kewenangan penghentian penyidikan harus lebih berat daripada penyidik di luar KPK," ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/5).

Dia menilai, putusan MK itu juga bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Di sisi lain, putusan MK terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak tepat karena merujuk pada Peraturan KPK No.1 Tahun 2021 tentang pegawai KPK menjadi ASN yang baru ditetapkan pada Rabu (27/1).