Sunat perempuan: Praktik nirfaedah yang sukar hilang

Indonesia menjadi negara ketiga di belakang Gambia dan Mauritania yang melakukan sunat perempuan terbanyak dengan persentase 49%.

Ilustrasi anak perempuan./ Pixabay

Nong Darol Mahmada masih mengingat jelas betapa polosnya ia membuka rok dan celana dalamnya, untuk disunat. Ia sempat protes tidak mau dan meronta pada ibunya agar bisa kabur. Terlambat baginya, ibunya telah memeluknya dengan erat agar ia tak bisa lari ke mana-mana.

“Kemudian Ibu Emping mengeluarkan benda berwarna kuning yang ternyata kunyit, dan mengoleskannya di ujung klitorisku. Sempat kegelian dan ternyata proses sunatnya selesai,” tulis Nong Darol di DW Indonesia.

Nong Darol masih sedikit beruntung, tak mengalami mutasi genital secara langsung. Namun, di belahan tempat yang lain, banyak anak perempuan yang merasakan mutasi genital atau Female Genital Mutilation (FGM) sebagai bagian dari ritual sunat itu sendiri. Dari data yang dikeluarkan UNFPA (The United Nations Population Fund) mencatat, setidaknya akan ada 15 juta perempuan yang klitorisnya disunat pada 2030. Provinsi Gorontalo tercatat menjadi provinsi dengan angka sunat perempuan tertinggi di Indonesia, sementara NTT menjadi provinsi dengan angka sunat perempuan terendah.

Sementara itu, dari data UNICEF 2016, Indonesia menjadi negara ketiga di belakang Gambia dan Mauritania yang melakukan sunat perempuan terbanyak dengan persentase 49%.

Pada 2010, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) Nomor 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Permenkes tersebut mengatur tentang batasan boleh dan tidak boleh dilakukannya sunat perempuan, serta prosedur yang harus ditaati tenaga kesehatan.