Survei dampak Covid-19 atas pekerja anak: 31,6% dilacurkan

Pekerja anak mudah dijual secara online dalam situasi Covid-19.

Ilustrasi pelecehan seksual anak/Pixabay.

Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan persoalan pekerja anak semakin kompleks, termasuk persoalan ekonomi yang menimbulkan efek domino pada pekerja anak dan keluarganya. Misalnya, program pembelajaran dari rumah biasanya dimanfaatkan keluarga untuk mempekerjakan anak untuk menambah penghasilan.

Berdasarkan survei KPAI bersama International Organization for Migration (IOM), Sekretariat Jarak, dan pegiat pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), ditemukan peningkatan anak jalanan sebesar 15,8%, anak yang dilacurkan 31,6%, anak pemulung 15,8%, anak dipekerjakan di pertanian 21,1%, dan pekerjaan rumah tangga anak 15,8%.

“Kondisi kerja pekerja anak rata-rata bekerja dalam situasi pelacuran, kemudian pada suhu panas yang ekstrim dan bekerja di jalanan. Jenis pekerja anak yang dilacurkan (lokus Bogor) mengalami kondisi kerja terbanyak, yaitu dalam situasi pelacuran, bekerja di bawah tanah, bekerja dengan ventilasi terbatas, serta rawan tertular Covid-19,” tutur Ai dalam keterangan tertulis, Kamis (26/11).

Jenis pekerja anak pemulung dan anak jalanan biasanya bekerja di jalanan, tetapi untuk lokus Medan ada yang dipekerjakan di rumah untuk membersihkan dan mengolah sampah yang akan dijual.

Survei yang dilakukan di 9 provinsi 20 kabupaten/kota se-Indonesia itu juga menyebut bahwa anak yang berada dalam lokus pekerjaan terburuk masih tinggi. Mayoritas lingkungan pekerja anak dapat merusak atau menghambat tumbuh kembang anak, seperti tingkat kebisingan melebihi ambang batas, membahayakan moral, hingga rawan tertular Covid-19.