Tsunami kematian sunyi di isolasi mandiri

Ribuan warga mati saat isolasi mandiri. Selain tak terjangkau layanan kesehatan, stigma Covid di masyarakat masih tinggi.

Ilustrasi. Foto Alinea.id/Bagus Priyo.

Indra Kusuma menangis sembari menjerit. Air matanya meleleh tatkala mendapati ayahnya, Suwarno, tak membuka mata di atas amben. Indra membangunkan bapaknya untuk sarapan pagi. Tubuh renta itu diguncangkan beberapa kali. Tetap tak bergerak. Napas berhenti.

Anak kedua Suwarno-Suharli itu jauh-jauh dari Malang kembali ke kampung halaman di Dusun Sumbermulyo, daerah terpencil di Banyuwangi, Jawa Timur, untuk memastikan kedua orang tuanya kembali sehat melawan Covid-19. Harapan pupus. Suwarno, 57 tahun, meninggal Rabu (20/7) lalu, menyusul Suharli yang mangkat tiga hari sebelumnya.

Suwarno-Suharli sempat dibawa ke rumah sakit rujukan Covid-19, Rumah Sakit Al Huda Banyuwangi, yang harus ditempuh tiga jam perjalanan. Sepekan sebelum meninggal, keduanya mengeluhkan sesak napas. Suharli meninggal sebelum sempat dirawat intensif.

Setelah menyerahkan jenazah istri untuk dikuburkan sesuai protokol Covid, Ketua RT ini pulang dan menjalani tes antigen di puskesmas. "Hasilnya positif. Saya dan bapak diminta isolasi mandiri di rumah," terang Tantri, anak Suwarno yang menemani pemeriksaan, seperti dikutip dari tempo

Oleh puskesmas, nomor telepon Suwarno dan anaknya dicatat. Mereka juga dibekali vitamin dan anjuran. Selama isolasi, pernah sekali ada kiriman telur dan mi instan dari puskesmas. Selebihnya, tak ada pemantauan lagi.