Tumpang tindih regulator di balik kecelakaan laut

Ujung rantai komando otoritas keselamatan, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2008, harus dikembalikan ke pusat atau Kementerian Perhubungan.

Ilustrasi kecelakaan kapal./ Pixabay

Tak lama usai tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, kecelakaan kapal kembali terjadi di Perairan Kepulauan Selayar pada Selasa (3/7) sore. Dalam manifesnya, kapal KM Lestari Maju mengangkut 139 orang, 48 kendaraan, dan membawa surat kelengkapan yang diperlukan. Namun, di tengah laut, KM Lestari Maju mengalami masalah dan air sudah masuk ke dek lantai bawah.

Agus Purnomo, Direktur Jenderal Hubungan Laut (Dirjen Hubla) menyatakan jika dirinya mengetahui umur kapal tersebut sudah tua. “Tapi masih layak jalan. Kalau soal lambung bocor, kami belum tahu, tim di sana masih melihat fakta di lapangan,” kata Agus.

Peningkatan kecelakaan kapal dalam periode 2012-2016 sebanyak 168 kali, menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), membukukan rekor tertinggi. Apalagi jika dibandingkan kecelakaan dengan moda transportasi lain, baik darat maupun perkeretaapian.

Pengamat transportasi laut Ajiph Razifwan Anwar mengatakan, peningkatan jumlah kecelakaan pelayaran disebabkan berbagai kelalaian dari pihak-pihak terkait, seperti regulator, operator, dan masyarakat. “Tetapi yang menonjol lebih dikarenakan regulator yang tidak konsisten menegakkan peraturan dan ketentuan, serta tidak bekerja secara profesional,” kata Ajiph saat dihubungi Alinea (3/7).

Senada dengan Ajiph, pengamat maritim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Raja Oloan Saut Gurning menuturkan, peningkatan kecelakaan justru berada tidak jauh dari pelabuhan. “Kebutuhan akan angkutan laut naik, namun kultur keselamatan tidak mendukung. Bahkan semakin menurun menurut saya,” ungkap pria yang akrab disapa Saut ini.