sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tumpang tindih regulator di balik kecelakaan laut

Ujung rantai komando otoritas keselamatan, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2008, harus dikembalikan ke pusat atau Kementerian Perhubungan.

Annisa Saumi Laila Ramdhini
Annisa Saumi | Laila Ramdhini Kamis, 05 Jul 2018 16:57 WIB
Tumpang tindih regulator di balik kecelakaan laut

Tak lama usai tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, kecelakaan kapal kembali terjadi di Perairan Kepulauan Selayar pada Selasa (3/7) sore. Dalam manifesnya, kapal KM Lestari Maju mengangkut 139 orang, 48 kendaraan, dan membawa surat kelengkapan yang diperlukan. Namun, di tengah laut, KM Lestari Maju mengalami masalah dan air sudah masuk ke dek lantai bawah.

Agus Purnomo, Direktur Jenderal Hubungan Laut (Dirjen Hubla) menyatakan jika dirinya mengetahui umur kapal tersebut sudah tua. “Tapi masih layak jalan. Kalau soal lambung bocor, kami belum tahu, tim di sana masih melihat fakta di lapangan,” kata Agus.

Peningkatan kecelakaan kapal dalam periode 2012-2016 sebanyak 168 kali, menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), membukukan rekor tertinggi. Apalagi jika dibandingkan kecelakaan dengan moda transportasi lain, baik darat maupun perkeretaapian.

Pengamat transportasi laut Ajiph Razifwan Anwar mengatakan, peningkatan jumlah kecelakaan pelayaran disebabkan berbagai kelalaian dari pihak-pihak terkait, seperti regulator, operator, dan masyarakat. “Tetapi yang menonjol lebih dikarenakan regulator yang tidak konsisten menegakkan peraturan dan ketentuan, serta tidak bekerja secara profesional,” kata Ajiph saat dihubungi Alinea (3/7).

Senada dengan Ajiph, pengamat maritim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Raja Oloan Saut Gurning menuturkan, peningkatan kecelakaan justru berada tidak jauh dari pelabuhan. “Kebutuhan akan angkutan laut naik, namun kultur keselamatan tidak mendukung. Bahkan semakin menurun menurut saya,” ungkap pria yang akrab disapa Saut ini.

Saut mengamati, semakin banyak armada yang dipertahankan operasinya, walau tidak dapat mempertahankan kelaikan lautnya. Banyak awak kapal yang sebenarnya tidak kompeten, tetapi, karena kebutuhan tetap dipertahankan. Tingkat kompetensi para awak kapal, kata Saut, cenderung dilihat dalam aspek administrasi dan bukan kemampuan teknis.

Regulasi lengkap, abai implementasi

Standar regulasi keselamatan transportasi laut yang dimiliki Indonesia pada dasarnya sudah lengkap. Indonesia mengacu pada ketentuan internasional IMO untuk kapal standar dan peraturan non convention vessel standard (NCVS), untuk kapal-kapal yang berlayar di bawah bendera Indonesia dan dalam perairan Indonesia dengan bobot hingga 500 Grosse Ton (GT).

Sponsored

Ilustrasi kapal tenggelam di perairan./ Antarafoto

Pada 2017 lalu, Indonesia meratifikasi dua protokol Organisasi Maritim Internasional mengenai keselamatan pelayaran. Kedua protocol tersebut adalah protokol SOLAS (Safety of Life at Sea) 1976 dan Load Lines. Protokol SOLAS 1976 yang mengatur tentang harmonisasi masa berlaku sertifikat dan pelaksanaan pemeriksaan yang terdiri dari pemeriksaan inisial, pemeriksaan tahunan, pemeriksaan antara, dan pemeriksaan pembaharuan kapal yang biasanya berlaku bagi kapal di atas 500 GT dan berlayar di perairan internasional.

Sementara protokol Load Lines mengatur batas garis muat kapal yang aman bagi keselamatan kapal, pencegahan kelebihan muatan dan keselamatan lambung timbul, keselamatan platform, serta peningkatan stabilitas kapal.

Namun, menurut Saut implementasi regulasi tersebut cenderung kompromistik. Implementasi yang seharusnya semakin tinggi, menurutnya malah cenderung mengarah ke aturan yang lebih rendah.

“Dalam konteks kapal perairan, (termasuk danau dan sungai) dan penyeberangan, ada dua aturan standar keselamatan yang telah tersedia, yaitu NCVS milik perairan dalam nasional dan SOLAS untuk kapal internasional, termasuk kapal berpenumpang di atas dua belas orang,” jelas Saut.

Dari amatan Saut, banyak kapal penumpang tidak memenuhi standar NCVS yang merupakan regulasi lebih rendah daripada SOLAS. “Jika NCVS saja banyak yang tidak memenuhi, apalagi SOLAS,” ungkap Saut.

Pengelolaan pelayaran kapal kecil, penumpang sungai atau danau, dan penyeberangan lebih cenderung dikelola  ditjen perhubungan darat. Sementara itu, otoritas atau kewenangan maritime administration dilimpahkan ke daerah oleh pemerintah pusat.

Dalam laporan akhir pengkajian hukum tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam pengelolaan laut yang dikeluarkan oleh Kemenkumham tahun 2015, menyebutkan urusan pengelolaan zona maritim yang termasuk di dalamnya angkutan, pelabuhan, galangan kapal, dan sebagainya dan perikanan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat batasan-batasan tertentu, seperti jarak dan hasil usaha.

Wewenang pengawasan pelayaran yang diberikan kepada pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik. Pemerintah daerah, menurut Saut, cenderung menjalankan kewenangan tersebut hanya terkait izin dan pendapatan daerah atau PNBP.

“Sementara kewajiban tidak dalam pembagian seperti kewenangan. Pasalnya, Pemerintah Pusat cenderung melimpahkan. Lalu selanjutnya, Pemda memiliki keterbatasan baik SDM, dana, dan regulasi untuk melakukan pengawasan,” jelas Saut.

Saut mencontohkan, dalam konteks kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba, ada permintaan daerah agar kapal-kapal kecil dikelola oleh Pemkab. Sementara kapal frri yang berukuran besar dikelola oleh pemerintah pusat atau ditjenhubdar.

Pengelolaan daerah cenderung pada urusan izin atau penambahan Pemasukan Anggara Daerah (PAD) lewat stiker berbayar. “Plus day-to-day operation dikelola koperasi masyarakat pemilik kapal yang notabene cenderung tradisional. Baik pembangunan kapal, pengoperasian dan pengaturan jadwalnya yang mirip kayak angkutan kota di darat,” ucap Saut.

Dalam Undang-undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008 Pasal 116 ayat (2) disebutkan, penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah. Sementara, peran Pemda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 114 dan 115 hanya sebatas mengurus pelabuhan dan daerah sekitar pelabuhan saja.

Kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian serta sertifikasi semua jenis kapal dengan semua ukuran dan berlayar di semua daerah pelayaran menurut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 110 tahun 2016 dimiliki pejabat pemeriksa keselamatan kapal, yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.

“Sistem administrasi keselamatan pelayaran pada Pasal 115 dan 116 UU Nomor 17 tahun 2008 harus dikembalikan ke Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan ditjen perhubungan laut. Sehingga, fungsi administrasi keselamatan pelayaran dapat berjalan dengan baik, yaitu fungsi pengawasan standar keselamatan (port state control), flag state (pengaturan standar internasional), fungsi SAR, dan penyediaan fasilitas navigasi,” jelas Saut. Dengan demikian, menurut Saut, maka akan semakin jelas terlihat siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan pelayaran.

Penyediaan transportasi pelayaran lemah

Kendati memiliki regulasi yang lengkap, negara juga perlu mengevaluasi sektor penyediaan transportasi pelayaran. Sebab, menurut Saut, kecelakaan kapal yang terus berulang di Tanah Air merupakan bukti ketidakmampuan negara dalam menghadirkan transportasi laut yang layak, di tengah tingginya permintaan.

Saut memperkirakan penumpang angkutan perairan termasuk laut, penyeberangan, danau, dan sungai di Indonesia sepanjang tahun ini sekitar delapan juta. Angka tersebut naik sekitar 10-15%, dari jumlah penumpang tahun lalu sebesar tujuh juta orang. Kenaikan permintaan akan transportasi laut ini, disebabkan daya angkut yang besar dengan ongkos relatif murah.

"Secara umum, konektivitas dan mobilitas yang butuh angkutan air cukup tinggi, sehingga peningkatan permintaan tinggi. Sayangnya infrastruktur dan armada (kapal) sangat terbatas," kata Saut saat dihubungi Alinea.

Saut mengakui banyaknya persoalan angkutan penumpang laut dalam sepuluh tahun ke belakang. Dia mengungkapkan setidaknya ada lima faktor utama yang menjadi penyebab kelalaian dalam penyelenggaraan transportasi laut, yakni kelayakan kapal, aturan, sumber daya manusia, cuaca, dan faktor ekonomi.

“Tidak hanya di Dana Toba, tapi di banyak perairan lain, kapal kecil yang berlayar itu sudah tidak layak, navigasi tidak berjalan, dan kesadaran tim juga kurang,” katanya. 

Sementara, kapal yang beroperasi juga sudah uzur. Saut mengungkapkan di Indonesia masih ada kapal penumpang besar berumur lebih dari 20 tahun. Bahkan, kapal feri (penyeberangan) dan kapal cepat sudah melebihi 25-30 tahun.

“Padahal layaknya maksimal 25 tahun. Itu pun harus dipastikan perawatan masih berjalan dengan baik sehingga keandalan tetap terjaga,” katanya.

Di lain pihak, dari informasi Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) masih ditemukan oknum yang melakukan modifikasi kapal tanpa memperhatikan prosedur dan uji kelayakan. Modifikasi dengan mengubah fungsi kapal barang maupun landing craft tank (LCT) menjadi kapal pengangkut penumpang.

“Padahal dari struktur jelas berbeda,” katanya.

Kendati demikian, dilema juga masih dirasakan para operator kapal. Saut menuturkan meningkatnya permintaan transportasi laut tidak dibarengi dengan daya beli masyarakat. 

“Masyarakat tidak mampu bayar lebih. Sehingga, pemilik kapal pun tetap mengoperasikan kapal yang sudah ada. Tidak bisa ekspansi lebih,” katanya.

Keterbatasan sarana prasarana ini tak urung menjadi faktor yang memengaruhi naiknya tren kecelakaan. Dari data yang dihimpun Alinea, sejak 2010 hingga 2017 telah terjadi 91 kecelakaan di sektor pelayaran. Dari data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan itu sudah menewaskan 374 orang. Sementara 506 orang terluka.

Menurut catat KNKT, pada 2017 terdapat dua kecelakaan hebat yakni kebakaran Zahro Express di Teluk Jakarta pada 1 Januari 2017, dan terbaliknya Speedboat Sri Rejeki Baru pada 25 Juli 2017 di Tarakan.

Adapun, dari hasil penyelidikan KNKT, banyak faktor penyebab kecelakaan. Pertama, belum tersedia aturan yang mengatur dan lemahnya pengawasan terhadap kapal-kapal angkutan penumpang tradisional. Kedua, masih banyak ditemukan penggunaan genset tambahan di luar kamar mesin sebagai sumber daya listrik utama kapal. 

Selanjutnya, pengawasan terhadap implementasi ISM Code di kapal, banyak ditemukan ketidaksesuaian antara dokumen dan fakta. Terakhir, penanganan muatan berbahaya yang diangkut truk yang akan masuk ke kapal penyeberangan atau kapal laut angkutan Ro- Ro.

Berita Lainnya
×
tekid