LBHM menilai vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan tidak tepat

Yosua menyebut, kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuha

Herry Wirawan. Ia terpidana kasus pemerkosaan 13 perempuan santri yang divonis hukuman mati. (Dok. ANTARA)

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memandang vonis pidana mati terhadap terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung, Herry Wirawan, tidak akan menimbulkan efek jera. Meski, tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan Herry mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat.

Koordinator Penanganan Kasus LBHM Yosua Octavian mengatakan, secara prinsip putusan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab, hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. 

"Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban," kata Yosua dalam keterangan, Selasa (5/4).

Yosua menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dengan vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. 

Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi.