Hukuman mati koruptor dianggap basi dan keliru

Alih-alih mewacanakan hukuman mati bagi koruptor, Presiden Jokowi diminta membenahi sistem hukum kriminal di Indonesia.

Presiden Joko Widodo saat pembukaan Kongres XXV KOWANI di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12). /Antara Foto

Alih-alih mewacanakan hukuman mati bagi koruptor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta membenahi sistem hukum kriminal di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, kasus-kasus korupsi dan narkoba kerap marak karena sistem hukum di Indonesia tak menimbulkan efek jera. 

"Kuncinya adalah kesungguhan. Kalau memang sungguh-sungguh mau berantas (korupsi dan narkoba), saya yakin negara dan aparat bisa (melakukan) tanpa hukuman mati," ujar Ismail kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/12). 

Ismail memaparkan sejumlah persoalan yang membuat sistem hukum kriminal miskin efek jera, di antaranya buruknya manajemen lapas dan pemberian remisi terhadap koruptor. "Ini soal cara penegakan hukum. Kita bisa periksa bagaimana manajemen lapas kita. Lapas kita amat buruk manajemennya," kata Ismail. 

Wacana hukuman mati bagi koruptor muncul saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57 Ragunan, Jakarta Selatan, (9/12). Saat itu, siswa kelas XII jurusan Tata Boga SMK 57 Harli Hermansyah bertanya kepada Jokowi kenapa koruptor tak dihukum mati. 

Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor kebanyakan tidak dimungkinkan oleh undang-undang. "Kalau korupsi bencana alam dimungkinan. Kalau enggak, tidak. Misalnya, ada gempa (dan) tsunami di Aceh atau di NTB (dan) kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana. Duit itu dikorupsi. Bisa (kena hukuman mati)," ujar Jokowi.