Porak-poranda Galatama karena suap sepak bola

Galatama adalah kompetisi sepak bola nasional menuju profesional. Namun, mental para pemainnya jauh dari profesional.

Ilustrasi suap dalam sepak bola. Alinea.id/Firgie Saputra.

Karier Jafeth Sibi sebagai pemain sepak bola berada di ujung tanduk, setelah ia mengakui menerima suap. Padahal, akhir 1970-an kapten klub Perkesa 78 itu berada dalam prestasi mentereng. Jafeth masuk dalam tim nasional PSSI Utama yang berlaga di Kuala Lumpur, Malaysia pada turnamen Merdeka Games 1979.

Keadaan keluarganya pun harmonis. Beristrikan mantan atlet, Jafeth dikarunia dua orang anak. Menurut Tempo edisi 28 Juli 1979 dalam artikel “Tetap Perkesa 78”, Jafeth mendapat gaji yang lumayan besar dari Perkesa 78, Rp85.000 sebulan. Namun, rayuan bandar judi dengan iming-iming uang Rp1 juta akhirnya membuat ia terperosok. Ia dipecat dari klub dan dijatuhi sanksi PSSI tak boleh beraktivitas di sepak bola.

Fulus di lapangan hijau

Jafeth adalah satu dari beberapa pemain Perkesa 78 yang diboyong Acub Zainal—bos klub yang mantan Pangdam XVII/Tjenderawasih (1970-1973) dan Gubernur Irian Jaya (1973-1975)—dari Bumi Cenderawasih. Acub mendidik pemain-pemain sepak bola setengah jadi dari sana, dipoles menjadi hebat untuk berkompetisi di Liga Sepak Bola Utama (Galatama).

Menurut Toni Prasetyo dalam buku Antara Bisnis dan Sepak Bola di Solo: Kiprah Klub Arseto, 1977-1998 (2020), Galatama diperkenalkan Ketua Bidang Olahraga PSSI Soeparjo Poncowinoto dalam Sidang Pengurus Paripurna II PSSI pada 1978.