Munajat 212 dan upaya melanggengkan politik identitas

Acara yang digelar alumni aksi 212 itu masih berkutat di persoalan memilih pemimpin yang sejalan dengan ideologi politik mereka.

Jemaah Munajat 212 melaksanakan Salat Magrib di Monas, Jakarta, Kamis (21/2). Foto Antara

Analis politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah Putra menyebut acara Munajat 212 sebagai upaya memelihara politik identitas. Pasalnya, acara yang digelar alumni aksi 212 itu masih berkutat di persoalan memilih pemimpin yang sejalan dengan ideologi politik mereka. 

"Asosiasi 212 tidak dapat dipisahkan dari aktivitas politik identitas. Sejak awal pesan mereka jelas memilih dari kalangan yang mereka anggap sejalan secara ideologis, kondisi itu sengaja dipelihara untuk menjalankan politik identitas," kata Dedi saat dihubungi Alinea.id, Jumat (22/2). 

Munajat 212 digelar di Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/2). Sejumlah petinggi partai politik pengusung Prabowo-Sandi hadir dalam acara tersebut, semisal Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nurwahid dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. 

Menurut Dedi, pergeseran niat telah terjadi dalam Munajat 212 tersebut. Awalnya gerakan 212 disebut sebagai reaksi sebagian Muslim terhadap pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang mengutip surat Al Maidah. 

Namun, kini BTP telah bebas setelah menjalani hukuman karena pernyataanya tersebut. Karena itu, embel-embel 212 dalam Munajat 212 tidak lagi relevan. "Tidak adanya konsistensi antara gerakan dengan isu yang diperjuangkan," kata dia.