Peristiwa

Jangan biarkan hukum jadi alat represi: IKA UII kritisi RUU Perampasan Aset

Dalam sambutannya, Ari menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan agenda hukum yang tidak dapat dipisahkan dari urgensi memberantas kejahatan ekonomi yang kian sistemik.

Kamis, 12 Juni 2025 21:25

Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) menyelenggarakan Webinar Nasional bertajuk "Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset", sebagai bentuk kontribusi intelektual terhadap arah reformasi hukum di Indonesia.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber kunci: pakar hukum pidana UII Dr. Mudzakir, S.H., M.H., anggota Komisi III DPR RI Dr. H. M. Nasir Djamil, M.Si, dan Deputi PPATK Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Dr. Fithriadi Muslim, S.H., M.H. Acara dibuka oleh Ketua Umum IKA UII, Dr. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H.

Dalam sambutannya, Ari menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan agenda hukum yang tidak dapat dipisahkan dari urgensi memberantas kejahatan ekonomi yang kian sistemik. “Maraknya korupsi dan pencucian uang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperdalam kesenjangan sosial, merusak fondasi moral publik, dan menggerus legitimasi hukum di mata rakyat,” ujarnya. Ia mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan bahwa pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi hanya mencapai 2,2 persen, menandakan lemahnya mekanisme pemulihan aset dalam sistem hukum yang ada saat ini.

Dr. Mudzakir dalam paparannya menekankan bahwa RUU ini memperkenalkan pendekatan non-conviction based asset forfeiture—perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana terhadap pelaku. “Negara dapat mengambil alih aset hasil tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht, meskipun pelaku belum dijatuhi hukuman,” jelasnya. Namun ia mengingatkan bahwa pelaksanaan kebijakan ini harus tunduk pada prinsip due process of law, dilakukan secara profesional, serta diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Dari sisi parlemen, Dr. Nasir Djamil menyampaikan bahwa RUU ini belum masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, namun terdaftar dalam Prolegnas jangka menengah. Ia menegaskan pentingnya integritas aparat penegak hukum agar RUU ini tidak menjadi alat represif yang bisa diarahkan ke pihak-pihak tertentu. “RUU ini masih bisa dipercepat melalui revisi Prolegnas, tetapi memerlukan tekanan publik dan komitmen politik yang kuat,” ujarnya.

Fitra Iskandar Reporter
Fitra Iskandar Editor

Tag Terkait

Berita Terkait