Bagi Alawit, tantangan ke depan adalah menulis ulang peran mereka dalam sejarah Suriah.
Saat istana presiden Damaskus akhirnya lengang dan lambang rezim Assad diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan, dunia menyaksikan sebuah era berakhir di Suriah. Namun, di balik gegap gempita kejatuhan dinasti yang telah memerintah lebih dari lima dekade itu, satu kelompok diam-diam menanggung beban sejarah: komunitas Alawit, minoritas yang selama ini menjadi tiang penyangga kekuasaan Bashar al-Assad.
Alawit — sebuah sekte kecil dalam spektrum Islam Syiah — hanya sekitar 10-12% dari populasi Suriah. Namun sejak Hafez al-Assad, ayah Bashar, mengambil alih kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1970, Alawit menjelma dari kelompok yang terpinggirkan menjadi kekuatan elite negara. Mereka mengisi posisi penting di militer, intelijen, dan birokrasi. Keamanan rezim dijaga oleh loyalitas sektarian, dan loyalitas itu dibalas dengan perlindungan serta akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.
Bagi banyak Alawit, Assad bukan sekadar presiden — dia adalah perisai dari mayoritas Sunni yang selama berabad-abad memandang sekte mereka sebagai sesat. Tak heran ketika pemberontakan Suriah meletus tahun 2011, banyak dari mereka berdiri di belakang Assad, lebih karena rasa takut daripada rasa cinta.
Namun semua berubah saat rezim akhirnya runtuh. Kota-kota yang dulu jadi benteng pertahanan Assad seperti Tartus dan Latakia kini menjadi tempat pelarian, bukan perlindungan. Warga Alawit di sana menghadapi kebingungan identitas dan ketakutan kolektif: jika negara baru dibangun atas luka dan dendam, di manakah tempat mereka?
Banyak yang khawatir akan adanya pembalasan. Selama bertahun-tahun, pasukan pro-Assad — yang didominasi Alawit — dituding bertanggung jawab atas kejahatan perang, penyiksaan, dan penindasan brutal terhadap oposisi, yang mayoritas Sunni. Meski tidak semua Alawit terlibat langsung, stigma itu telanjur melekat.