close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tentara Suriah. Foto: AA
icon caption
Tentara Suriah. Foto: AA
Peristiwa
Rabu, 04 Juni 2025 21:42

Nasib Alawit dalam bayang-bayang Suriah baru

Bagi Alawit, tantangan ke depan adalah menulis ulang peran mereka dalam sejarah Suriah.
swipe

Saat istana presiden Damaskus akhirnya lengang dan lambang rezim Assad diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan, dunia menyaksikan sebuah era berakhir di Suriah. Namun, di balik gegap gempita kejatuhan dinasti yang telah memerintah lebih dari lima dekade itu, satu kelompok diam-diam menanggung beban sejarah: komunitas Alawit, minoritas yang selama ini menjadi tiang penyangga kekuasaan Bashar al-Assad.

Alawit — sebuah sekte kecil dalam spektrum Islam Syiah — hanya sekitar 10-12% dari populasi Suriah. Namun sejak Hafez al-Assad, ayah Bashar, mengambil alih kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1970, Alawit menjelma dari kelompok yang terpinggirkan menjadi kekuatan elite negara. Mereka mengisi posisi penting di militer, intelijen, dan birokrasi. Keamanan rezim dijaga oleh loyalitas sektarian, dan loyalitas itu dibalas dengan perlindungan serta akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.

Bagi banyak Alawit, Assad bukan sekadar presiden — dia adalah perisai dari mayoritas Sunni yang selama berabad-abad memandang sekte mereka sebagai sesat. Tak heran ketika pemberontakan Suriah meletus tahun 2011, banyak dari mereka berdiri di belakang Assad, lebih karena rasa takut daripada rasa cinta.

Namun semua berubah saat rezim akhirnya runtuh. Kota-kota yang dulu jadi benteng pertahanan Assad seperti Tartus dan Latakia kini menjadi tempat pelarian, bukan perlindungan. Warga Alawit di sana menghadapi kebingungan identitas dan ketakutan kolektif: jika negara baru dibangun atas luka dan dendam, di manakah tempat mereka?

Banyak yang khawatir akan adanya pembalasan. Selama bertahun-tahun, pasukan pro-Assad — yang didominasi Alawit — dituding bertanggung jawab atas kejahatan perang, penyiksaan, dan penindasan brutal terhadap oposisi, yang mayoritas Sunni. Meski tidak semua Alawit terlibat langsung, stigma itu telanjur melekat.

Jejak Luka Sejarah
Sejarah panjang Alawit di Suriah penuh diskriminasi dan keterasingan. Sebelum abad ke-20, mereka tinggal di pegunungan dan hampir tidak memiliki akses pendidikan atau kekuasaan. Ketika Prancis menjajah Suriah (1920-an), mereka membuka pintu bagi Alawit untuk bergabung dalam militer kolonial — celah yang kemudian menjadi modal dominasi kelompok ini dalam militer Suriah pasca kemerdekaan.

Dengan latar ini, munculnya rezim Assad membawa kebanggaan dan keamanan bagi Alawit. Namun seiring meningkatnya kekejaman rezim dan konflik sektarian, keberpihakan itu berubah menjadi beban. Ketika militer dilibatkan dalam penumpasan brutal terhadap pemberontakan, komunitas Alawit terseret lebih dalam ke pusaran konflik.

Suriah Pasca-Assad: Jalan Sunyi Menuju Rekonsiliasi
Kini, ketika Suriah mencari bentuk baru pasca-Assad, kelompok Alawit menghadapi masa depan yang tak menentu. Beberapa tokoh oposisi menyerukan pendekatan inklusif dan menolak generalisasi sektarian, namun luka yang dalam dan politik identitas yang mengakar membuat rekonsiliasi tidak mudah.

Sebagian komunitas Alawit mencoba menjauhkan diri dari dosa-dosa rezim, menyatakan bahwa mereka juga korban, bukan sekutu. Banyak anak muda Alawit meninggal sebagai tentara dalam perang yang tidak mereka pilih. Sebagian lainnya hidup dalam kemiskinan, sama seperti rakyat Suriah lainnya.

Bagi Alawit, tantangan ke depan adalah menulis ulang peran mereka dalam sejarah Suriah — bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai warga negara. Sejumlah inisiatif perdamaian dan dialog antar komunitas mulai tumbuh, pelan tapi pasti. Harapan pun muncul bahwa negara baru bisa lahir bukan di atas penghapusan identitas, tapi lewat pengakuan dan keadilan.

Ke mana pun Suriah melangkah, masa depan Alawit akan selalu menjadi indikator apakah negara ini benar-benar mampu menyembuhkan lukanya. Karena dalam perang yang panjang dan brutal, tidak ada satu kelompok pun yang tak terluka. Dan dalam perdamaian yang sejati, tak boleh ada yang ditinggalkan.

Persoalannya, kenyataan di lapangan tak semanis angan-angan akan persatuan dan keharmonisan antar golongan di Suriah. Lemahnya komunitas Alawit, dalam banyak kasus menjadi kesempatan bagi kelompok lain yang merasa menjadi korban selama rezim Assad berkuasa, untuk melakukan balas dendam.

Korban terus berjatuhan

Ditemukanmya lima orang dari komuitas Alawit yang tewas di rumah sakit dua hari setelah ditahan oleh pasukan keamanan, baru-baru ini menjadi indikator yang tak bisa dianggap remeh. Mereka kini menjadi target perburuan untuk dibinasakan. 

Kelompok pemantau perang pada hari Rabu, menuduh lima orang yang tewas itu telah "dieksekusi secara singkat".

Sejak jatuhnya penguasa lama Suriah Bashar al-Assad, komunitas Alawi, tempat ia berasal, telah menjadi sasaran banyak serangan, termasuk pembantaian sektarian yang menewaskan lebih dari 1.700 orang pada bulan Maret.

Pemantau Syrian Observatory for Human Rights mengatakan kelima pria itu sedang pulang kerja di Damaskus pada hari Minggu ketika bus yang mereka tumpangi dihentikan di sebuah pos pemeriksaan.

Tetangga awalnya diberi tahu bahwa pria-pria itu ditahan oleh pasukan keamanan dan "dalam keadaan sehat", kata Observatory yang berpusat di Inggris.

"Mayat lima anggota komunitas Alawite ditemukan" di rumah sakit Al-Mujtahid di Damaskus, kata Observatory, seraya menambahkan bahwa mereka telah "dieksekusi secara singkat" dengan cara ditembak. Observatory tidak menjelaskan lebih lanjut.

Pengemudi juga dirawat di rumah sakit, kata pemantau tersebut. Orang ketujuh dari bus tersebut masih hilang.

Perlakuan terhadap minoritas Suriah merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pasukan yang dipimpin oleh kaum Islamis yang menggulingkan Assad pada bulan Desember.

Masyarakat internasional telah menuntut agar semua komponen masyarakat Suriah diikutsertakan dalam proses transisi.

Menurut para saksi mata dan organisasi internasional, pembantaian pada bulan Maret itu terjadi setelah orang-orang bersenjata memasuki rumah-rumah di pesisir Suriah dan menanyakan agama penduduk sebelum memutuskan apakah akan membunuh atau membiarkan mereka hidup.

Sementara pemerintah menyalahkan sisa-sisa rezim sebelumnya karena memicu bentrokan, kepresidenan membentuk komite pencari fakta untuk menyelidiki insiden tersebut.(france24)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan