Sayangnya, konflik bersenjata di negara bagian Rakhine membuat pasokan rotan semakin sulit didapat.
Chinlone, olahraga tradisional Myanmar yang memadukan keanggunan seni dan ketepatan teknik, bukan sekadar permainan bola rotan—ia adalah cerminan budaya, kesabaran, dan kebersamaan. Namun, keberlangsungan warisan ini kini menghadapi ancaman besar akibat pandemi, kudeta militer, dan konflik sipil yang memicu kemiskinan serta kelangkaan bahan baku rotan, membuat masa depan chinlone kian suram.
Berakar dari tradisi berusia lebih dari 1.500 tahun, chinlone adalah permainan nasional Myanmar yang memadukan unsur olahraga dan pertunjukan seni. Permainan ini sering diiringi musik, dengan pria bermain secara berkelompok dalam formasi lingkaran, saling mengoper bola menggunakan kaki, lutut, dan kepala secara bergaya. Sementara itu, wanita biasanya bermain solo dalam aksi akrobatik seperti menyeimbangkan diri di atas kursi, berjalan di atas tali, hingga memutar payung sambil terus menendang bola.
“Begitu Anda mulai memainkan permainan ini, Anda melupakan segalanya,” kata Win Tint (74), veteran chinlone. “Anda hanya berkonsentrasi pada sentuhan Anda, dan Anda hanya berkonsentrasi pada gaya Anda.”
Namun, partisipasi dalam olahraga ini terus menurun sejak pandemi COVID-19, diperparah oleh kudeta militer pada 2021 dan konflik sipil yang menyusul. Ketidakstabilan ini menyebabkan meningkatnya kemiskinan serta kesulitan dalam memperoleh rotan berkualitas tinggi yang menjadi bahan utama bola chinlone.
Tak hanya di Myanmar, permainan serupa juga dikenal luas di Asia Tenggara. Di Thailand, Malaysia, dan Indonesia dikenal sebagai “sepak takraw” yang dimainkan dengan net. Di Laos, disebut “kataw”, di Filipina “sipa”, dan di Tiongkok, permainan serupa dilakukan dengan menendang shuttlecock di taman-taman umum.