DPR dianggap remehkan kekerasan seksual

Anita Wahid mempertanyakan kealpaan RUU TPKS dalam sidang paripurna.

Aktivis perempuan membawa poster pada aksi unjuk rasa memperingi hari perempuan sedunia 2019, di Banda Aceh Aceh, Jumat (8/3/2020)/Antara Foto.

Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI) Anita Wahid mengecam para anggota dewan yang alpa terhadap banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Anita menyesalkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang batal masuk dalam Rapat Paripurna DPR RI masa persidangan 2021-2022.

Menurutnya, aktor-aktor legislatif tersebut tidak memiliki keberpihakan dan komitmen untuk melindungi korban maupun penyintas kekerasan seksual.

"Saya mengecam keteledoran para anggota dewan yang terhormat. Belum ada alasan mengapa mereka tidak hadir di rapat. Padahal Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Seharusnya keberadaan payung hukum yang lebih komprehensif untuk dapat melindungi korban dan penyintas menjadi prioritas DPR," kata Anita dalam keterangannya, Jumat (17/12).

Anita mempertanyakan mengapa RUU TPKS perlu segera disahkan. Dia menilai, bahaya pembiaran terhadap tindak pidana kekerasan seksual mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. 

Menurutnya, fakta saat ini para korban justru menemui praktik penegakan hukum yang mengkriminalisasi mereka, diskriminasi serta stigmatisasi yang dilayangkan oleh aparat penegak hukum kepada pelapor. Selain itu, tidak ada perlindungan yang cukup dan pendampingan memadai bagi para korban. Semua itu, katanya, menggambarkan bahwa negara gagal menciptakan ruang aman bagi warga negaranya.