Nestapa PPP: Dari dukungan ke Prabowo hingga dualisme kepengurusan

Mengantongi suara 4,52%, PPP hampir terlempar dari parlemen.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat (kiri) memberikan sambutan dalam acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) ke V PPP di Jakarta, Sabtu (30/11). /Antara Foto

Suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus melorot dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 2019, partai berlambang kakbah itu hanya mengantongi 4,52% suara nasional atau setara dengan 19 kursi di DPR. Padahal, PPP mampu mendudukkan 39 kadernya ke parlemen pada 2014. 

Melorotnya perolehan suara PPP ini tak lepas dari konflik berkepanjangan yang memunculkan dualisme kepemimpinan. Konflik bermula dari manuver mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) membela Prabowo Subianto di Pilpres 2014. 

Ketika itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PPP Ahmad Baidowi, SDA bersama sejumlah petinggi PPP--di antaranya Djan Faridz dan Nur Iskandar--hadir dalam kampanye akbar Partai Gerindra. Langkah itu menyalahi anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PPP. 

"Itu pukulan telak bagi semua kader di seluruh Indonesia," kata Awiek, sapaan akrab Baidowi, dalam bedah buku bertajuk 'Musibah Partai Kakbah, Potret Perjalanan PPP 2014-2019' di kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12).

Menurut Awiek, pernyataan dukungan yang dikeluarkan SDA dan kawan-kawan terhadap Prabowo Subianto sebagai capres 2014 menyalahi aturan. Dukungan politik terhadap capres-cawapres seharusnya melalui mekanisme musyawarah-mufakat di tingkat DPP.