Isu SARA masih mengancam di Pilgub 2018

Terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi kemunculan isu SARA, idantaranya ketimpangan sosial-ekonomi.

Ilustrasi rasisme atau SARA. (foto: pixabay)

Sebanyak 17 provinsi akan menggelar Pemilihan Gubernur secara serentak pada pertengahan tahun ini. Sejak tahun lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memetakan kerawanan isu suku, agama, ras dan antargolongan. Bawaslu belum memiliki instrumen pengawasan yang terstandarisasi dan terukur sebagai pendeteksi dini politisasi isu SARA dalam pelaksanaan pemilu dan Pilkada.

Namun, berdasarkan laporan penelitian berjudul ‘Potensi Penggunaan SARA dalam Pilkada Serentak 2018’, disebutkan bahwa terdapat dua pandangan dalam melihat isu SARA ketika Pilkada. Kelompok pertama menyebut SARA sebagai sesuatu yang alamiah, panggung politik adalah tempat mempertaruhkan identitas atau refleksi pertarungan identitas.

Pendapat kedua, menyebut isu SARA sebagai by design dan dijadikan komoditas politik untuk memperoleh keuntungan. Adapun yang melatarabelakangi kemunculan isu SARA ialah adanya ketimpangan sosial-ekonomi, rekayasi elit politik untuk memperoleh keuntungan, pemahaman toleransi yang belum tuntas, kecerobohan individu dalam komunikasi dan media massa.

Merujuk pada pendapat kedua, kemudian diprediksi isu yang bakal muncul di tiap daerah.

Di Sumatera Utara (Sumut) misalnya, pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU), Iqbal Fauzan, menyebut aktor politik membagi masyarakat dalam kelompok putra daerah dan non-putra daerah. Identitas suku melekat dalam konteks tersebut. Adapun suku dominan di Sumut ialah Batak, Melayu, Karo, Nias dan Jawa. Sedangkan kajian dari Fitra pada 2016, banyak terpampang baliho yang menegaskan kecenderungan ini.