Komnas HAM imbau tak jadikan ras dan etnis sebagai guyonan politik

Hasil survei Litbang Kompas segregasi sosial di masyarakat masih sangat tinggi.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (tengah) bersama Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mochammad Choirul Anam (kiri) memberi pemaparan kepada wartawan terkait hasil survei penilaian masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Jum'at (16/11/2018). Survei yang diadakan sebagai refleksi 10 tahun pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis itu menunjukkan bahwa tingkat segregasi sosial di masyaraka

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam, meegatakan guyonan politik menggunakan ras dan etnis merupakan salah satu bentuk pelanggaran. Karena itu, pihaknya melarang kepada seluruh elemen masyarakat menggunakan ras dan etnis sebagai bahan guyonan. 

"Kami berharap di ruang publik tidak boleh menggunakan etnisitas menjadi wacana publik. termasuk guyonan, apalagi dalam rangka pertarungan politik elektoral besok (Pemilu 2019)," katanya di Gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/110. 

Choirul menjelaskan, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas segregasi sosial di masyarakat masih sangat tinggi. Jika dilihat dari hasilnya, solidaritas dari keturunan keluarga angkanya mencapai 81,9 %. Masyarakat, disebut Choirul, lebih merasa nyaman jika berada dalam ruang ingkup sesama etnisnya atau keturunannya. 

Berdasarkan Etnis, masyarakat merasa diuntungkan dengan tinggal bersama etnis satu sukunya yaitu dengan angka 83,1%. Sedangkan berdasarkan ras, mereka juga merasa diuntungkan dengan penilaian sebanyak 82,7%.  

Dengan demikian, menurut penilaian Komnas HAM, berdasarkan hasil survei tersebut segregasi masyarakayt memang masih tinggi, baik dari segi keturunan , ras, maupun etnisitas. Maka tidak heran jika dalam politik 2016 lalu, isu ras dan etnis sangat besar.