Kubu oposisi dinilai wajib dijatah kursi pimpinan MPR

Jangan sampai ada kekuatan politik yang tidak terwakili dalam komposisi pimpinan MPR RI.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Ketua Fraksi Golkar Agun Gunanjar Sudarsa, Ketua DPP Partai Golkar Andi Sinulingga, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Burhanudin Muhtadi, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik dengan tema Jalan Pasti Sistem Politik dan Pemilu di Indonesia, di Jakarta, Senin (5/8). /Antara Foto

Pengamat hukum tata negara Refly Harun berharap komposisi kursi pimpinan MPR didesain untuk mengakomodasi kubu oposisi. Menurut Refly, kader dari kubu oposisi harus diikutsertakan sebagai pimpinan MPR untuk mencegah ada kekuatan politik yang tidak terwakili. 

"Tidak bisa (kursi pimpinan MPR) menggambarkan hanya satu mainstream partai politik saja. Harus ada dua-duanya. Misalnya, ada salah satu pimpinan dari kubu Jokowi, ya kubu Prabowo harus diajak juga. DPD juga diajak," ujar Refly kepada Alinea.id di kawasan Jakarta Selatan, Senin (5/8)

Merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Ketua MPR merupakan bagian dari pimpinan MPR yang didampingi tujuh Wakil Ketua MPR. Namun demikian, saat ini bergulir wacana jumlah kursi pimpinan MPR bakal 'disunat'.

Meskipun berkurang, menurut Refly, komposisi yang mengakomodasi semua kubu masih bisa direalisasikan. "Setelah unsur terwakili semua, termasuk DPD, maka dipilihlah ketuanya. Pilih yang vote yang terbanyak. Siapa yang kepilih paling banyak, ya sudah jadi ketua dan yang lain wakil-wakil ketua," kata dia. 

Pada kesempatan yang sama, ketua fraksi Golkar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa berharap pimpinan MPR tidak dipilih lewat format paket. Menurut dia, semangat musyawarah harus dikedepankan dalam pemilihan kursi pimpinan MPR.