Kursi panas wapres daripada Soeharto

Menjelang Sidang Umum MPR 1988, mengemuka dua nama calon wakil presiden (wapres) untuk mendampingi Soeharto.

Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman (kiri) menyerahkan buku kenangan selama masa jabatan pertamanya kepada Sudharmono (kanan), yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Sabtu (8/1/1983)./Foto commons.wikimedia.org/Sumarjadi dalam Mimbar Depdagri No.5 Tahun 1982/1983

Selasa, 1 Maret 1988 sebelum Sidang Umum MPR dimulai untuk mendengarkan pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto, para wakil fraksi yang ada di parlemen berdatangan, mendekat kepada sang presiden. Mereka menanyakan pencalonan wakil presiden (wapres).

Tak seperti pencalonan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (menjabat 1973-1978), Adam Malik (1978-1983), dan Umar Wirahadikusumah (1983-1988) sebagai wapres yang berjalan mulus, saat itu ada dua calon yang mengemuka.

Dengan bijak, Soeharto menjawab, kewenangan memilih dan mengangkat presiden dan wapres ada pada MPR, lewat sidang umum. Soeharto pernah membantah, dirinya selalu mengantongi nama wapres untuk mendampinginya.

Meski, ia sendiri mengakui dalam buku biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) bahwa ia menunjuk tim kecil terdiri dari lima orang untuk mencari kandidat wapres, sesuai kriteria yang diinginkannya.

Tim kecil itu bertugas melakukan lobi ke organisasi massa dan partai politik. Menjelang Sidang Umum MPR 1988 untuk menentukan presiden dan wapres, tim serupa yang ditunjuk Soeharto berjumlah sembilan orang. Walau, katanya, tugasnya berbeda dari sebelumnya.