Larangan iklan politik harus diatur di RUU Penyiaran

Setelah menyepakati sistem frekuensi, KPI meminta DPR memperhatikan larangan iklan politik dalam RUU Penyiaran.

Ilustrasi TV/Pixabay.com

Sejak 2015, DPR memasukkan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dalam prioritas peraturan yang akan diselesaikan. Termasuk tahun ini, RUU Penyiaran juga telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2018.

Salah satu perdebatan alot yang muncul dalam RUU Penyiaran ialah sistem pengaturan frekuensi. Pemerintah menawarkan penggunaan sistem single mux atau penguasaan frekuensi kepada negara. Sedangkan sektor swasta, menginginkan sistem multi mux agar frekuensi bisa dikuasai oleh pemegang lisensi seperti perusahaan swasta dan pemerintah.

Ketua DPR Bambang Soesatyo pun menggelar pertemuan informal dengan Menkominfo Rudiantara dan para pimpinan Fraksi di DPR serta Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafid. Hasilnya, mereka pun menyepakati jalan tengah dengan menggunakan sistem hybrid multiplexing atau berbagi frekuensi antara pemerintah dan swasta. Melalui sistem tersebut, jika swasta memiliki empat frekuensi, maka tiga lainnya harus diserahkan ke negara dan satu dikelola secara mandiri.

“Dengan demikian dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, negara maupun para pelaku usaha industri penyiaran sama-sama diuntungkan," jelas Bambang di komplek parlemen, Selasa (13/2).

Menyikapi kesepakatan itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis menilai setiap pilihan memiliki plus-minusnya sendiri. Karena itu, dia mendesak agar RUU Penyiaran segera disahkan.