Mungkinkah memutus aksi golput pada Pemilu 2024?

Istilah golput dideklarasikan Arief Budiman cs di Jakarta sebelum Pemilu 5 Juli 1971 digelar karena alasan ideologis.

Gerakan untuk golput mengemuka jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024. Mungkinkah aksi golput dapat diputus? Alinea.id/Aisya Kurnia

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan angka partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di atas 82%. Sebab, menjadi salah satu indikator suksesnya kontestasi selain memengaruhi legitimasi kandidat terpilih.

Sekalipun trennya menurun, fenomena golongan putih (golput) atau kelompok yang tidak memilih masih akan membayang-bayangi pelaksanaan Pemilu 2024. Istilah golput dideklarasikan Arief Budiman cs di Jakarta sebelum Pemilu 5 Juli 1971 digelar karena alasan ideologis. Jumlah golput mencapai 30,2% pada Pemilu 2014 dan turun menjadi 18,2% pada Pemilu 2019.

Wacana untuk golput sudah muncul jauh-jauh hari. Ini seperti tergambar dari spanduk bertuliskan "2024 Golput. Pilihan realistis atas matinya keadilan di +62" yang terbentang di sebuah jembatan penyeberangan orang (JPO) di Kota Malang, Jawa Timur (Jatim), pada akhir Maret 2023.

Spanduk diduga dipasang suporter sepak bola Aremania dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan 135 nyawa, karena kecewa terhadap putusan vonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. 

Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) juga memantik gerakan golput pada Pemilu 2024. Hal tersebut seperti yang disuarakan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, lantaran belum ada satu pun kandidat pemilihan presiden (pilpres) yang berkomitmen merevisi regulasi sapu jagat (omnibus law) itu hingga kini.