Pengamat sebut teror di Medan akibat politik identitas

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memiliki dalam menguatkan sentimen politik identitas.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memiliki dalam menguatkan sentimen politik identitas. /

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memiliki dalam menguatkan sentimen politik identitas. Salah satunya memposisikan kepolisian dan pemerintah sebagai musuh Islam.

Pengamat Gerakan Islam dari UIN Jakarta M. Zaki Mubarok mengungkapkan, fragmentasi politik yang ekstrem pascapilpres 2019 memperkuat persepsi dikotomi pro-Islam dan anti-Islam. Kelompok jihadis, kata dia, menempatkan pemerintah dan aparat kepolisian dalam spektrum anti-Islam.

Pada gilirannya, hal itu digunakan sebagai pembenaran terhadap penyerangan kepada kepolisian.

"Dalam wawancara saya dengan sejumlah aktivis Jaringan Islamiyah (JI), baik mantan maupun yang masih berkeliaran sebenarnya hampir seragam seperti itu (menguat pasca Pilpres)," tutur Zaki di Jakarta Pusat, Sabtu (16/10).

Selain JI, persepsi pemerintah dan kepolisian sebagai anti Islam juga menguat di kalangan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Menurutnya, sasaran utama para kelompok jihadis adalah Densus 88 Anti Teror. Namun, karena menjangkau Densus 88 Anti Teror telampau sulit, maka mereka menyasar semua polisi.