Pernah dibatalkan MK, DPR ubah delik penghinaan presiden

Pada putusan MK yang diketok pada 2006 silam, terdapat dissenting opinion terkait uji materi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.

Ilustras ketok palu hakim. (foto: Pixabay)

Senin 4 Desember 2016 silam, Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan gugatan terkait Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Ketiga aturan yang berisi larangan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu hakim konstitusi, Maruarar Siahaan menyebut dasar pertimbangan dalam mengabulkan gugatan tersebut diantarnya mengacu pada pendapat Profesor Mardjono Reksodiputro dan Profesor JE Sahetapy.

Kedua ahli pidana itu menganggap, bahwa arti penghinaan harus menggunakan pengertian yang berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHP (mutatis mutandis). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah, maupun pejabat-pejabat pemerintah.

Selain itu, dalam suatu negara republik, maka kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden dan wakil presiden, seperti yang berlaku untuk pribadi raja dalam suatu negara kerajaan. Bahkan, Sahetapy menganggap pasal penghinaan terhadap presiden serta wakil presiden tak relevan dalam era demokrasi dan reformasi lantaran kehilangan raison d’etre-nya.

Meski demikian, dalam putusan yang diketok oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie itu terdapat perbedaan pendapat hakim atau dissenting opinion. Dari sembilan hakim konstitusi, empat diantaranya tak sepakat untuk mengabulkan gugatan tersebut.

Keempat hakim itu adalah I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Soedarsono dan Achmad Roestandi. Pasal tersebut pun dinilai masih relevan oleh I Dewa Gede. Meski beleidnya peninggalan pemerintah kolonial Belanda, di mana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga presiden dan wakil presiden, menurut sejarah penyusunannya adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat raja.