Pupus rasionalitas demokrasi, Prabowo jadi menteri buat Pilpres 2019 sia-sia

Prabowo seharusnya tetap menjadi oposisi, dan Jokowi tak mengajak rivalnya di Pilpres 2019 itu menjadi menteri.

Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10)./ Antara Foto

Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, menyayangkan bergabungnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kabinet Jokowi jilid II. Menurutnya, hal ini membuat persaingan keduanya yang penuh dinamika di Pilpres 2019, menjadi sia-sia.

Menurutnya, pemilu yang menjadi mekanisme dalam menentukan pihak yang memerintah dan yang menjadi oposisi, harus dikedepankan. Bagi dia, seharusnya Prabowo menerima kekalahannya dan tetap menjadi oposisi.

Dia pun menyayangkan sikap Jokowi yang justru merangkul Prabowo untuk mengisi salah satu kursi di kabinet periode kedua pemerintahannya.

"Mestinya yang kalah legowo saja menjadi oposisi, dan Pak Jokowi mestinya tidak mengajak-ajak. Kalau begitu, seolah pemilu tidak ada gunanya, yang menang dan kalah semua mendapat kekuasaan," kata Syamsuddin di Jakarta, Selasa (22/10).

Dia mengamini keputusan untuk menunjuk menteri merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai Presiden RI. Namun seharusnya, kata Syamsuddin, komposisi menteri dibentuk dengan memperhatikan rasionalitas demokrasi.