Revisi UU ITE mendesak

Revisi perlu dilakukan karena pasal-pasal karet di dalam UU ITE telah memakan banyak korban. 

Musikus Ahmad Dhani langsung ditahan usai divonis majelis hakim di Pengagilan Negeri (PN) Jaksel. Foto Antara.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendesak untuk dievaluasi dan direvisi. Menurut Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie, revisi perlu dilakukan karena pasal-pasal karet di dalam UU ITE telah memakan banyak korban. 

"UU ITE itu harus dievaluasi kembali karena sudah banyak memakan korban yang tidak perlu. Bahkan, (UU ITE) ini sudah mirip dengan pasal-pasal karet di UU Subversif yang sudah pernah dihapus Mahkamah Konstitusi dulu," ujar Jimly kepada di ICMI Center, Warung Jati Timur, Jakarta Selatan, Senin (4/2).

UU ITE disahkan pada 21 April 2008 atau pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sudah ada lebih dari 200 orang dilaporkan ke polisi karena diduga melanggar UU ITE sejak 2008 hingga 2018. 

Tak hanya warga biasa, sejumlah figur publik ikut terjerat oleh UU ITE di antaranya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan musikus Ahmad Dhani Prasetyo. BTP baru saja menyelesaikan masa hukumannya di Mako Brimob sedangkan Dhani baru beberapa hari mendekam di Rutan Cipinang. 

Menurut Jimly, pada mulanya UU ITE lahir dengan niatan positif, yakni mengerem kebebasan berekspresi tanpa batas yang cenderung mengarah ke ujaran kebencian. Namun, pada praktiknya, penggunaan UU ITE justru 'keluar dari rel'.