close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Quantitive easing atau pelonggaran likuiditas juga dikenal dengan kebijakan menambah cetak uang. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Quantitive easing atau pelonggaran likuiditas juga dikenal dengan kebijakan menambah cetak uang. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Bisnis
Senin, 11 Mei 2020 17:48

Antara Quantitative Easing, BLBI, dan Hiperinflasi

Belum ada kajian empiris yang menyebut quantitative easing berhasil mengangkat perekonomian suatu negara.
swipe

Tidak ada yang pernah menyangka bahwa Covid-19 begitu besar dampaknya bagi perekonomian dunia. Indonesia tak luput dari imbas pandemi. Semua indikator ekonomi, baik mikro maupun makro negeri ini, berada pada kondisi tidak menggembirakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 tumbuh melambat 2,97% secara tahunan (year on year/yoy). Kepala BPS Suhariyanto menyebut, dibandingkan kuartal IV 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 2,41%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi, dalam situasi sangat berat ekonomi Indonesia bahkan bisa menyentuh angka minus 0,4% tahun ini. Pada skenario ini, jumlah orang miskin diperkirakan bakal bertambah 3,78 juta orang dari perhitungan BPS 2019 sekitar 24,79 juta orang.

Sementara jumlah pengangguran bakal melejit hingga 12,01 juta orang dari sebelumnya sekitar 6,88 juta orang pada Februari 2020. Artinya, akan ada sekitar 5,23 juta pengangguran baru yang lahir gara-gara Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan pemaparan melalui video confenrence (vidcon) di Pendopo Wali Kota Banda Aceh, Aceh, Jumat (17/4/2020). Foto Antara/Irwansyah Putra/wsj.

Seluruh indikator ekonomi yang hancur lebur itu membuat semua pemangku kebijakan fiskal dan moneter saling bahu membahu untuk mengatasi kemungkinan keterpurukan ini. Bank Indonesia (BI) tidak bisa tidak ikut cawe-cawe.

Demi memperlebar ruang gerak BI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19. Dalam aturan ini BI sebagai bank sentral diperbolehkan untuk membeli surat utang pemerintah melalui pasar perdana sebagai pemberi pinjaman terakhir (the lender of the last resort).

Diktum ini sekaligus mengganti aturan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang melarang bank sentral membeli surat utang melalui pasar perdana. Pemerintah menyebut ini sebagai kebijakan extraordinary (luar biasa).

Saat rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Rabu (6/5), Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, total surat utang yang bisa dibeli BI dari pemerintah maksimal 25%. Langkah ini diambil sekaligus juga untuk menutupi defisit fiskal yang diperkirakan bakal mencapai Rp1.400 triliun lebih.

“Beberapa kali kami ditanya berapa bisa beli (utang pemerintah), jumlahnya Rp125 triliun,” tutur Perry.

Angka itu merujuk pada Surat Berhaga Negara (SBN) yang bakal dilelang pemerintah untuk biaya penanganan Covid-19, yakni sekitar Rp506,8 triliun. Apabila kebutuhan utang yang dikehendaki pemerintah bertambah, BI bisa pula menambah pinjamannya dengan pagu maksimum tadi.

 

Kebijakan ini merupakan salah satu bagian dari langkah ekspansi moneter BI yang disebut sebagai quantitative easing (QE) atau pelonggaran likuiditas. Tercatat sejak Januari-April 2020, BI telah melakukan pelonggaran moneter hingga total Rp386 triliun. Ditambah Rp117,8 triliun yang akan dikucurkan pada Mei 2020, total estimasinya mencapai Rp503,8 triliun.

Rinciannya BI telah melakukan pembelian SBN di pasar sekunder Rp166,2 triliun, pembelian term repo (repurchase agreement) bank atau jual surat utang bank dengan janji beli kembali Rp137,1 triliun, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rp117 triliun (perkiraan), plus swap atau barter valuta asing (valas) Rp29,7 triliun, dan peniadaan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) kepada bank konvensional dan syariah Rp15,8 triliun. 

Sementara sisanya berasal dari jumlah estimasi penambahan likuiditas melalui beberapa langkah ekspansif tersebut. Perry mengakui hingga kini penerapan QE belum terlihat memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian Indonesia.

“Di sinilah (fungsinya) kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal itu tugasnya adalah mendorong sektor riil. Bagaimana konsumsi masyarakat bisa tumbuh, kegiatan masyaratakat bisa tumbuh. Seperti itu. Inilah tugasnya pemerintah,” kata Perry.

QE di dunia

Apa sebenarnya QE? Sederhananya, QE adalah salah satu kebijakan pelonggaran moneter yang dilakukan bank sentral dengan menambah jumlah uang beredar. Caranya dengan membeli SBN dan merelaksasi sejumlah peraturan perbankan seperti yang dilakukan BI saat ini.

QE pertama kali dilakukan oleh Bank of Japan (BoJ) pada 2001-2006. Pada saat itu perekonomian Jepang terpuruk hingga tumbuh hanya 0,1% pada kuartal IV 2001. Langkah progresif telah diambil BoJ dengan menurunkan suku bunga hingga 0%, namun belum juga mengangkat perekonomian.

Walhasil, BoJ menerapkan satu kebijakan baru dengan melakukan pembelian surat-surat berharga negara supaya perbankan bisa menyalurkan kredit ke masyarakat. Kebijakan ini berhasil meredakan deflasi mata uang yen yang sempat tinggi saat itu.

Nilai tukar mata uang yen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai terdepresiasi, sehingga daya beli internasional terhadap produk Jepang kembali tumbuh. Sebagai negara maju, deflasi terhadap nilai mata uang bagi Jepang adalah sebuah kerugian karena bisa membuat harga barang semakin mahal.

Namun begitu, tetap butuh waktu lima tahun bagi Jepang untuk kembali memulihkan perekonomiannya seperti semula. Tercatat, pada tahun pertama kebijakan QE diterapkan, nilai mata uang yen mengalami pelemahan sebesar 18,5% terhadap dolar AS dan indeks saham Nikkei turun 28%.

Antara 2002 sampai akhir 2004, ketika perekonomian Jepang mulai sedikit stabil, nilai mata uang yen kembali turun 22%. Hasilnya, selama periode tersebut, indeks saham Nikkei kembali menguat 20%. Baru pada tahun 2006, perekonomian Jepang bisa kembali tancap gas.

Kebijakan itu kemudian diadposi oleh AS ketika terjadi krisis keuangan global yang lebih dikenal sebagai krisis subprime mortgage pada 2008. The Federal Reserve, bank sentral AS, mengucurkan dana triliunan dolar untuk membeli surat utang dari lembaga pembiayaan kredit properti yang memang menjadi biang keladi krisis pada saat itu.

QE dilakukan dalam tiga tahap. QE tahap 1 (November 2008-Maret 2010), The Fed menginjeksi dana US$1,8 triliun ke perekonomian AS. Pada tahap 2 (November 2010-Juni 2012), The Fed kembali menyuntik dana US$827 miliar. Lalu pada tahap 3 (September 2012-Oktober 2014), dana senilai US$1,93 triliun kembali disuntikan oleh The Fed.

Ternyata QE tidak begitu banyak membantu perekonomian AS. Pertumbuhan ekonomi AS pada periode 2008-2016 dapat dikatakan hanya suam-suam kuku belaka.

Pada 2008, ekonomi AS tumbuh negatif 0,29%. Satu tahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi mereka kembali negatif 2.78%. Selepas itu ekonomi AS mulai tumbuh positif namun fluktuatif di kisaran 1-2%.

Baru pada 2017, ekonomi AS bisa tumbuh 2,3% atau stabil. Artinya, dengan menerapkan QE di negaranya, AS butuh kurang-lebih 9 tahun untuk kembali mengangkat perekonomiannya seperti sediakala.

Karenanya, Visual Capitalist dalam laporan berjudul “The Fed’s Balance Sheet: The Other Exponential Curve” menyebut QE sebagai suatu kebijakan yang kontroversial dan amat berisiko. Sebab, hingga saat ini belum ada satupun kajian empiris yang membuktikan bahwa QE mampu berperan penting dalam pemulihan ekonomi suatu negara.

Hiperinflasi dan moral hazard

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira malah menyebut, QE sebagai kebijakan yang konyol. Ia menjelaskan bahwa dengan rendahnya minat belanja masyarakat saat ini, kebijakan menambah uang beredar justru bakal menciptakan hiperinflasi.

Kondisi ini terlihat dengan harga-harga mulai melambung tinggi dan nilai tukar rupiah terdepresiasi semakin dalam. Jika di Jepang sebagai negara maju depresiasi nilai mata uang berarti baik, maka di Indonesia sebagai negara berkembang depresiasi mata uang justru merupakan sinyalemen buruk.

BI, sambung Bhima, tidak bisa memaksakan kebijakan QE di negeri ini. Sebab rupiah bukan merupakan mata uang utama yang digunakan dalam perdagangan internasional. Dengan semakin lemahnya nilai rupiah, maka masa pemulihan ekonomi Indonesia pasca-Covid-19 akan semakin panjang.

“Yang jelas kenapa AS mau melakukan QE tahun 2008 karena mereka confident investor terhadap 1 mata uang yang kira-kira mata uang ini dipakai oleh banyak negara dalam aktifitas ekonominya baik perdagangan ekspor-impor kemudian transaksi valas menggunakan USD,” tutur Bhima dalam webinar bersama Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Kamis (7/5).

Sementara itu, eks Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Rizal Ramli menilai bahwa QE yang dilakukan BI saat ini berpotensi besar menimbulkan moral hazard di kalangan pengusaha. Kucuran dana segar dari BI itu bisa menyebabkan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jilid II seperti terjadi pada 1998-2000.

Kala itu BI mengucurkan bantuan likuiditas kepada 54 bank swasta senilai Rp320 triliun untuk kembali mendorong ekonomi yang ambruk pasca-reformasi. Sayang, yang terjadi justru dana tersebut malah dijadikan bancakan oleh para bankir sehingga BI hanya bisa mendapat kembali uangnya sebesar 8,5% atau Rp27,2 triliun.

Aksi bail-out Bank Century yang merugikan negara hingga Rp6 triliun merupakan satu dari sekian banyak ‘anak’ yang lahir dari skandal serupa BLBI

“QE itu mah ‘money printing’ (cetak uang). Amerika dan Jepang kuat, bisa ‘macro-pumping’. Kalau RI bakal jadi sumber bancakan baru ala BLBI. Siapa yang tanggung jawab?” tulis Rizal seperti dikutip dari akun Twitter-nya @Ramlirizal.

Kuncinya kredibilitas negara

Adanya potensi inflasi dan moral hazard itu juga diakui oleh Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Ajib Hamdani. Ia tidak memungkiri bahwa QE yang dilakukan BI saat ini berpotensi memberikan efek negatif bagi perekonomian Indonesia.

Namun, menurutnya, efek negatif dari QE cenderung lebih terukur ketimbang pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) kepada investor asing. Utang tersebut justru akan menjadi beban jangka panjang negara dan memperlebar defisit permodalan Indonesia.

“Daripada global pandemic bond dengan bunga 4,5% selama 50 tahun. Ini justru akan membebani keuangan jangka panjang negara dan membuat current account ratio kita tambah defisit,” kata Ajib saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (7/5).

Problemnya sekarang, sambungnya, hanya tinggal bagaimana cara pemerintah mengawasi QE tersebut dan mendorong sektor riil atau fiskal untuk bisa menyerap kucuran dana yang digelontorkan BI.

Seperti yang disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam hal ini kredibilitas pemerintah diperlukan. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah progresif agar kucuran dana segar dari BI itu bisa terserap oleh masyarakat dan mengalir secara semestinya.

Dari sisi pengusaha, Ajib mengaku semuanya telah siap menyerap dana itu untuk mengencangkan produksi pasca-Coronavirus berakhir. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu bergerak cepat untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga sehingga perekonomian bisa kembali pulih.

“Jadi pemerintah juga harus memastikan masyarakat kembali punya disposable income untuk jangka pendek dan jangka panjangnya,” terangnya.

Terakhir, kata Ajib, yang patut diingat adalah selain memiliki instrumen ekspansi moneter, BI juga punya kewenangan untuk melakukan kontraksi moneter. Kedua instrumen ini diistilahkan sebagai sistem ‘sedot-semprot’.

Semprot adalah mengucurkan dana sehingga uang beredar semakin banyak. Sementara sedot atau konstraksi moneter adalah instrumen untuk kembali menarik uang beredar, sehingga inflasi yang tinggi bisa segera diredam.

Ketepatan waktu BI dalam melakukan instrumen ini tidak boleh terlambat untuk mencegah terjadinya hiperinflasi seperti yang dikhawatirkan Bhima Yudhistira. BI juga perlu memastikan bahwa seluruh penerima dana QE ini memiliki kredibilitas baik sehingga potensi bancakan seperti yang disampaikan Rizal Ramli tidak betul-betul jadi kenyataan.

Bukan bail-out

Bank Indonesia sendiri menegaskan kebijakan pelonggaran likuiditas kali ini bukanlah bentuk bail-out atau dana talangan sebagaimana dikucurkan pada Bank Century pada tahun 2008. 

“Mohon jangan diartikan ini sebagai bailout, jangan diartikan ini sebagai BLBI, prudent terus dilakukan termasuk menjaga stabilitas di sektor keuangan,” kata Perry Warjiyo.

Menurut dia, dalam pembelian SUN atau Surat Berharga Negara (SBN) dan SBSN di pasar perdana, BI akan menjadi pemberi pinjaman terakhir atau the lender of last resort.

Artinya, BI baru akan membeli SUN atau SBSN itu dalam urutan terakhir setelah pemerintah menghitung dahulu anggaran yang sudah ada, termasuk relokasi anggaran untuk pembiayaan penanganan Covid-19 dan kemampuan pasar untuk menyerap instrumen investasi itu.

Adanya aksi ini pun mengubah strategi pemerintah dalam menerbitkan SBN. Pemerintah akhirnya resmi membatalkan penerbitan SBN khusus penanganan pandemi Corona atau Pandemic Bond

"Saat ini, bagi yang sudah disepakati above the line, kita tidak terbitkan bond khusus, pandemi dan lain-lain," kata Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman dalam paparannya via virtual, Jakarta, Jumat (8/5/2020).

Hal ini tak lain karena masuknya BI ke pasar perdana selaku the last resort yang menyerap sisa penerbitan SBN baik SUN (obligasi konvensional) maupun SBNS (obligasi syariah).

Bank Indonesia menempuh kebijakan quantitive easing atau pelonggaran likuiditas. Alinea.id/Dwi Setiawan.

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan