sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Daerah mulai merasakan dampak dari mahalnya harga tiket

Jumlah kunjungan wisatawan ke Sumbar pada Januari-Februari 2019 menurun drastis

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 21 Feb 2019 13:23 WIB
Daerah mulai merasakan dampak dari mahalnya harga tiket

Masyarakat Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, lebih memilih liburan ke Malaysia dibandingkan daerah lain di Indonesia karena harga tiket lebih murah.

Direktur biro travel PT Teman Sejati Rivo Rinaldi, mengatakan untuk tiket Padang-Kuala Lumpur Malaysia menggunakan Air Asia, hanya Rp255.000 sedangkan untuk Padang-Jakarta paling murah Rp1.059.000, menggunakan Lion Air itu belum termasuk bagasi.

"Selama Februari, saya sudah menerima pesanan tiket Padang-Kuala Lumpur untuk rombongan 20 orang lebih untuk berwisata. Selama 2019, ada peningkatan pembelian tiket ke Malaysia dan setiap hari rata-rata tiga pesanan," ujarnya.

Penerbangan dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ke wilayah lainnya di Indonesia, paling murah tujuan Batam, Rp738 ribu menggunakan Lion Air. Tetapi, belum termasuk bagasi.

Pergeseran tren liburan tahun ini berbanding terbalik dibanding tahun lalu.

Pada 2018, kebanyakan pesanan tiket liburan dari Solok Selatan ke Yogyakarta, kala itu harga tiket Padang-Yogya hanya Rp694 ribu.

Akan tetapi tahun ini, untuk penerbangan Padang-Yogyakarta harga tiket paling murah Rp1.233.000 tanpa bagasi.

Untuk pesanan tiket Padang-Jakarta sebetulnya masih normal tetapi kebanyakan masyarakat yang mengurus bisnis, keperluan mendadak maupun kedinasan.

Sponsored

Sebelumnya Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Oni Yulfian, mengatakan, jumlah kunjungan wisatawan ke Sumbar pada Januari-Februari 2019 menurun drastis, yakni 30% hingga 40% dibandingkan periode yang sama pada 2018, karena tingginya harga tiket pesawat.

"Indikator penurunan jumlah kunjungan itu bisa dilihat dari jumlah penumpang di BIM yang berkurang dan tingkat hunian kamar hotel pada Januari 2019," katanya.

Data Dinas Pariwisata setempat, jumlah penumpang di Bandara Internasional BIM pada Januari 2019 mencapai 271.674 orang, mengalami penurunan sebesar 29,57% dibanding Desember 2018 yang tercatat sebanyak 385.747 orang.

Bila dibandingkan dengan Januari 2018, yang tercatat 353.007 orang, jumlah penumpang bulan Januari 2019 mengalami penurunan sebesar 23,04%.

Sementara Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada Januari 2019 mencapai rata-rata 44,24% atau mengalami penurunan sebesar 14,35 poin dibanding bulan Desember 2018 yang tercatat sebesar 58,59%. 

Sementara, Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil atau Emil mengatakan kenaikan harga tiket pesawat mengakibatkan jumlah penerbangan dari berbagai daerah ke Bandung, Jawa Barat.

"Bandung merasakan dampaknya. Dulu per hari itu ada belasan penerbangan ke Bandung, tapi sekarang hilang empat penerbangan karena tiket mahal," kata Gubernur Emil seusai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Padang, Sumbar, Kamis.

Kenaikan harga tiket pesawat yang dilakukan oleh maskapai penerbangan tanah air, telah membuat orang berpikir ulang ketika hendak berpergian ke daerah lain untuk keperluan pekerjaan atau wisata.

"Seharusnya dicarikan jalan keluarnya seperti apa. Kalau tiket naik akan jadi kendala bagi daerah," katanya.

Seharusnya, keluhan pemerintah daerah terkait keluhan atau dampak kenaikan tiket pesawat bisa dicermati oleh Kementerian Perhubungan.

"Kalau bisa curhatan daerah bisa dipahami oleh Kemenhub. Sebelum menaikkan harga diskusi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah yang akan terdampak," katanya.

Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, sebelum adanya pengenaan tarif bagasi berbayar dan kenaikan harga tiket pesawat, pada Desember 2018, occupancy rate hotel berbintang satu hanya 44%. 

"Sasarannya adalah kelas menengah ke bawah. Artinya, kita akan lihat di bulan Februari sampai Maret. Apakah akan terjadi lagi penurunan occupancy rate, karena, di kelas menengah ke bawah ini yang paling kena," ujar Bhima dalam satu diskusi khusus di Jakarta, Sabtu (9/2). 

Sementara, implikasi jangka panjangnya, bisa mempengaruhi inflasi. Seperti diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, angkutan udara berada diurutan ke-16 penyumbang terbesar inflasi. 

Kemudian pada 2018, naik menjadi peringkat keenam, sebagai salah satu komoditas utama penyumbang inflasi. 

"Sedikit saja ada perubahan variabel pada harga di tingkat konsumen, inflasi bisa naik," imbuh dia. 

Berkaca pada 2018, pemerintah gagal memenuhi target untuk mendatangkan 20 juta wisman ke Indonesia, karena adanya bencana alam. Bhima pun menekankan, pemerintah sebaiknya bisa mendorong wisatawan nusantara (wisnus) untuk bisa memajukan pariwisata. 

Tapi, pada kenyataannya, wisnus pun sangat sensitif terhadap harga tiket perjalanan. Terlebih juga, pemerintah daerah banyak yang mengandalkan perekonomian dengan menjual buah tangan khas daerah. 

"Ini bisa menimbulkan minat wisatawan lokal untuk berpergian. Bisa saja untuk Jakarta-Jogja tidak perlu membawa bagasi. Tapi, bagaimana dengan trip yang berada di luar Pulau Jawa, harus membeli oleh-oleh. Nah, ini implikasinya ke sana," ujar Bhima. 

Dari data statistik Bank Indonesia (BI), pariwisata memang merupakan salah satu sektor yang bisa dengan cepat mendatangkan DHE ke dalam negeri. Setiap tahun, DHE pariwisata selalu meningkat. 

DHE pariwisata pada 2015 sebesar US$10,7 miliar, kemudian pada 2016 naik menjadi US$12,2 miliar. Sementara pada 2017 sebesar US$13,1 miliar, dan pada 2018 naik lagi menjadi US$14,1 miliar.

"Pariwisata dan jasa ini menjadi tulang punggung ekonomi. Jadi ketika hulunya mengalami masalah harga bagasi, tiket, dan kargo, kami khawatirkan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi di tahun 2019," tukas Bhima. (ant)

Berita Lainnya
×
tekid