sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekonomi lesu, mampukah usaha bertahan hingga Juni?

Pemerintah perlu mewaspadai efek jangka panjang jika pandemi berlangsung lebih lama dari perkiraan.

Annisa Saumi Nanda Aria Putra
Annisa Saumi | Nanda Aria Putra Selasa, 12 Mei 2020 11:01 WIB
Ekonomi lesu, mampukah usaha bertahan hingga Juni?

Ekonomi Indonesia terpukul pada awal tahun. Sejumlah indikator ekonomi mulai melemah pada kuartal I 2020 akibat pandemi Covid-19 yang kasusnya di Indonesia diumumkan pada Maret 2020. 

Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2020 mencapai Rp3.922,6 triliun, atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.703,1 triliun. Walhasil pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 hanya 2,97% melambat secara year on year (yoy) dari 5,07%. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia triwulan I-2020 terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 2,41% secara kuartal ke kuartal.

Dari sisi produksi, penurunan disebabkan oleh kontraksi yang terjadi pada beberapa lapangan usaha. Lalu dari sisi pengeluaran, penurunan disebabkan oleh kontraksi pada seluruh komponen pengeluaran.   

Inflasi kalender Januari sampai April rendah sebesar 0,84%, sementara inflasi tahunannya sebesar 2,6%. Pergerakan inflasi disebut BPS sangat rendah dan tidak biasa, ini menunjukkan penurunan daya beli di rumah tangga. 

Terakhir, angka pengangguran jumlahnya diprediksi naik hingga 12,01 juta orang dari sebelumnya sekitar 6,88 juta orang pada Februari 2020. Artinya, akan ada sekitar 5,23 juta pengangguran baru yang lahir gara-gara Covid-19.

Bagaimana dengan sektor keuangan? Rasio kecukupan modal industri jasa keuangan utamanya bank turun pada Maret sebesar 21,72% secara year to date (ytd) dari posisi Desember 2019 sebesar 23,31%. 

Indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat jeblos di bawah 4.000, meski kembali menguat dan stabil di angka 4.500-4.600. Kinerja nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga melemah. Bahkan mata uang Garuda menyentuh Rp16.000, meski sekarang pergerakannya fluktuatif di Rp15.000. 

Sponsored

Bercermin pada data-data tersebut, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kemudian menetapkan status ekonomi waspada. Selanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani turut mengatakan ekonomi setelah triwulan II 2020 mungkin akan lebih berat. 

Stimulus yang kurang 

Pemerintah memang telah memulai langkah mitigasi karena takut terjadi kontraksi ekonomi dan angka kemiskinan naik. 

Paket-paket stimulus besar dengan komponen fiskal dan moneter telah siap. Indonesia memang telah belajar dengan cara sulit selama krisis keuangan yang pernah terjadi pada tahun 2008 dan 2018.

Bantuan pun telah diprioritaskan untuk rumah tangga yang rentan, wiraswasta, serta usaha kecil dan menengah. Bank hingga lembaga keuangan juga mendapat relaksasi. 

Namun, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai suntikan likuiditas dan paket relaksasi yang dijalankan pemerintah bersama BI dan otoritas terkait masih minim.

Piter membandingkan injeksi likuiditas yang digelontorkan oleh negara-negara maju yang mampu menyuntikkan hingga ribuan triliun rupiah untuk menjaga stabilitas sistem keuangannya.

"Agar dunia usaha bisa bertahan di tengah wabah dan juga agar perbankan atau lembaga keuangan tidak mengalami tekanan likuiditas yang lebih buruk, pemerintah dan otoritas harus memberikan bantuan likuiditas yang sangat besar," kata Piter kepada Alinea.id pada Senin (11/5).

Stimulus yang diberikan juga harus lebih fokus. Saran Piter, pemerintah fokus saja mengefektifkan stimulus fiskal, itu yang paling utama. 

Namun, Piter mengatakan, pemerintah perlu mewaspadai efek jangka panjang jika pandemi berlangsung lebih lama dari perkiraan. Perlu dicermati kondisi dunia usaha yang hanya mampu bertahan hingga Juni jika situasi tak kunjung membaik.

Apalagi tingkat konsumsi masyarakat juga mulai menurun, terlihat dari angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal pertama yang hanya 2,84%. 

"Sejauh ini shock akibat keringnya likuiditas ini belum mengakibatkan kerusakan yang parah. Namun, dunia usaha disebutkan masih bisa tahan hingga Juni. Masyarakat sudah sulit untuk konsumsi. Untung masih ada gerakan kesetiakawanan sosial di tengah seretnya bansos dari pemerintah," ujarnya.

Presales nol sektor properti 

Meski ekonomi Indonesia telah berstatus waspada, tapi otoritas bursa belum menyiapkan antisipasi khusus. Direkur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan BEI tetap mempertahankan peraturan yang ada.

"Sampai saat ini tidak ada ya (antisipasi khusus). Kami masih mempertahankan policy pergerakan asimetris batas bawah 7% dan juga trading halt 5%," kata Inarno kepada Alinea.id, Senin (11/5).

Sebagai informasi, perdagangan saham akan dihentikan sementara selama 30 menit apabila IHSG turun lebih dari 5% dalam sehari. 

Selain itu, BEI juga mengeluarkan kebijakan auto rejection bawah (ARB) sebesar 7%. Dalam peraturan tersebut, harga saham hanya bisa turun 7% dalam satu hari. Sekali lagi, Inarno menegaskan otoritas bursa belum akan mengubah aturan. 

Padahal goncangan ekonomi akibat pandemi diprediksi menekan kinerja saham sejumlah emiten. Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Nico Demus mengatakan, status waspada ekonomi Indonesia adalah lampu kuning bagi emiten, khususnya terhadap emiten skala menengah dan kecil.

"Pasar saham tentu akan bereaksi terhadap pernyataan ini," ujar Nico kepada Alinea.id

Selain itu, pasar juga mencermati sejumlah data yang akan dirilis pada pekan ini. Khususnya terkait dengan Current Account Deficit (CAD) dan trade balance.

"Apabila ternyata data ekonomi yang muncul juga kurang bagus, pasar tertekan," kata Nico.

Sementara Analis OSO Sekuritas Sukarno Alatas menyebut emiten properti paling terkena dampak ini. Bahkan pahitnya, kata Sukarno, presales nol terjadi pada emiten properti.

Atas kondisi ini, analis menyarankan investor mencermati sektor mana saja yang aman. Meski dampaknya tidak terlalu signifikan ke sektor konsumer. 

Selain memperhatikan pernyataan KSSK, Sukarno meminta pelaku pasar terus berhati-hati dan memantau perkembangan Covid-19. Sebab, Sukarno mengatakan sebentar lagi pasar akan memasuki siklus 'Sell on May and go away'. Dalam siklus itu, investor melakukan aksi jual di bulan Mei untuk menghindari penurunan kinerja pasar modal pada bulan Mei hingga Oktober.

Adapun menurut Sukarno, selama ini kebijakan dan relaksasi yang diberikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) telah cukup memadai. Sebab, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu kembali menguat dari titik terdalamnya.

Berita Lainnya
×
tekid