Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk membangun ekonomi dari desa kini mulai terwujud melalui program Koperasi Desa Merah Putih. Inisiatif ini digagas sebagai strategi memperkuat ketahanan pangan, menekan angka kemiskinan, dan mendorong sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan ekonomi pedesaan.
Program Koperasi Desa Merah Putih secara resmi diperkenalkan pada Retret Kepala Daerah di Akademi Militer Magelang, 21–28 Februari 2025. Arahan presiden kemudian ditegaskan kembali dalam rapat terbatas di Istana Negara, 3 Maret 2025, dan diperkuat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2025. Peluncuran resminya dijadwalkan pada Hari Koperasi, 12 Juli 2025, dengan target ambisius: membentuk 80.000 koperasi serentak di seluruh desa Indonesia.
Peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai langkah ini sebagai bagian dari visi besar pemerataan ekonomi melalui pemberdayaan desa. Ia menyatakan revitalisasi koperasi desa merupakan salah satu pilar penting untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih inklusif.
“Pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi menjadi salah satu pilar utama dalam visi Presiden Prabowo. Komitmen ini tercermin jelas dalam agenda revitalisasi dan penguatan peran Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai sarana penggerak ekonomi rakyat,” ujar Yusuf dalam laporan Core, dikutip Selasa (10/6).
Catatan Core
Namun demikian, sejumlah catatan kritis turut disampaikan oleh Core untuk memastikan agar program koperasi ini benar-benar berjalan sesuai tujuan awalnya dan tetap sejalan dengan nilai-nilai koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia.
Peneliti Core lainnya, Azhar Syahida, menekankan empat aspek yang perlu diperhatikan secara serius agar Koperasi Desa Merah Putih dapat memberi dampak positif secara nyata.
Pertama, dari sisi konsep dasar. Core menyoroti pendekatan koperasi berbasis Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 berisiko tidak mencerminkan semangat koperasi yang terbuka dan partisipatif. UU ini masih mengacu pada kerangka lama yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Jika semangat gotong-royong dan kemandirian warga tidak menjadi dasar pembentukan koperasi, dikhawatirkan koperasi hanya menjadi bentuk formalitas administratif.
Kedua, dari sisi kelembagaan. Koperasi Desa Merah Putih berpotensi tumpang tindih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah ada. Core menilai, penting untuk memperjelas fungsi dan peran masing-masing agar tidak terjadi duplikasi kebijakan dan beban administratif yang berlebihan di tingkat desa.
Ketiga, dari sisi pendanaan. Dengan estimasi anggaran mencapai Rp400 triliun melalui skema pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Core mengingatkan akan risiko fiskal dan perbankan jika koperasi tidak dikelola dengan manajemen keuangan yang matang.
Keempat, dari sisi tata kelola. Pembentukan koperasi dalam jumlah besar perlu disertai dengan pelatihan manajemen, transparansi, serta pengawasan ketat. Core mencatat pengalaman masa lalu menunjukkan tanpa penguatan tata kelola, koperasi dapat menyimpang dari tujuan awal dan justru membuka celah politisasi serta elite capture.
“Meski berangkat dari niat baik untuk menghidupkan ekonomi rakyat, program Koperasi Desa Merah Putih berisiko menjauh dari semangat koperasi ala Bung Hatta jika tidak dirancang dengan matang,” jelas Azhar.
Ia menekankan agar program Koperasi Desa Merah Putih dapat benar-benar menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat, pelaksanaannya harus menempatkan masyarakat sebagai pusat gerakan, yang sejalan dengan semangat Bung Hatta tentang koperasi sebagai wadah kemandirian, demokrasi ekonomi, dan solidaritas sosial.
Dengan evaluasi yang terbuka, penyusunan kebijakan yang inklusif, dan pelaksanaan yang akuntabel, Koperasi Desa Merah Putih diharapkan dapat menjadi tonggak baru kebangkitan ekonomi desa yang berkelanjutan.