sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Milenial dan gen Z berburu obligasi ritel

Obligasi ritel pemerintah dinilai menjadi instrumen investasi paling aman dan likuid di era pandemi.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 12 Okt 2020 15:59 WIB
 Milenial dan gen Z berburu obligasi ritel

Kalau 14 tahun yang lalu Pamitra Wineka tidak berinvestasi di obligasi ritel pemerintah, mungkin TaniHub Group tidak pernah ada. Sebabnya, sebagian besar modal investasi Tanihub ini berasal dari uang jaminan obligasi pemerintah yang diagunkan oleh Eka, begitu ia akrab disapa.

Waktu itu, Eka masih remaja. Baru saja memasuki tahun ke-2 kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi di usia yang masih muda belia, dia sudah sadar untuk berinvestasi. Sebagian uang yang dimilikinya ditanam di beberapa instrumen investasi, termasuk saham dan obligasi ritel.

Ketika pemerintah meluncurkan obligasi negara ritel (ORI) pertama kali pada 2016 dengan seri ORI001, ia langsung saja menempatkan uangnya di sana. Saat itu, kata Eka, kupon bunganya masih 12,5% dengan tenor 3 tahun. Menggiurkan.

“Waktu itu (investasinya) Rp100 juta aja sih,” kata Eka saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.

Sejak saat itu, pria yang kini menjabat sebagai presiden sekaligus Co-founder TaniHub ini tidak pernah absen berinvestasi di obligasi ritel pemerintah. Hingga obligasi ritel terbaru seri ORI018, Eka juga masih belum absen. Bahkan kali ini, jumlah dana yang dia gelontorkan cukup besar, lebih dari Rp1 miliar.

Dia mengaku senang berinvestasi pada surat utang milik pemerintah lantaran karakternya yang cenderung aman, likuid, dan dapat diagunkan. Itu sudah dibuktikannya sendiri dengan berhasil membangun TaniHub dari dana agunan obligasinya. Maka itu, bagi Eka, surat berharga negara (SBN) ritel ini bakal tetap menarik sampai kapanpun.

“Kalau saham ‘kan enggak bisa dijaminkan. Tapi kalau ORI ‘kan sewaktu-waktu butuh cash cepet, walaupun ORI-nya belum mau dijual, saya bisa ngejaminin di bank,” ungkap Eka.

Presiden dan Co-Founder Tanihub Pamitra Wineka. Dokumentasi.

Sponsored

Lain cerita dengan Ruisa Khoiriyah. Mantan wartawan yang kini menjadi perencana keuangan itu sudah mulai berinvestasi sejak usia 28 tahun. Awalnya, dia hanya menempatkan dananya di instrumen reksa dana, meski pada akhirnya dia pun turut kepincut dengan obligasi ritel.

Pada 2013, seingat Ruisa, dia memulai investasi obligasi ritel dengan dana di bawah Rp50 juta. Dia memilih instrumen ini lantaran risikonya yang dianggap minim. Plus, kupon yang ditawarkan juga cukup menarik karena lebih tinggi dibandingkan deposito.

“Selama negara belum bangkrut, risiko default (gagal bayar) relatif kecil,” terang Ruisa melalui pesan singkat kepada Alinea.id.

Namun, Ruisa mengakui bahwa dana yang ditempatkannya untuk obligasi ritel memang tidak sebegitu besarnya jika dibandingkan dengan instrumen investasi lain. Dia cenderung menempatkan dana di obligasi ritel hanya sebagai rencana keuangan jangka pendek atau kurang dari 3 tahun.

“Investasi di obligasi ritel saya tujukan untuk tujuan keuangan jangka pendek di bawah 3 tahun,” tegas dia.

Investor baru

Beruntung bagi Eka dan Ruisa sudah memulai investasi obligasi ritel sejak lama. Sebab kini, obligasi ritel pemerintah sudah semakin naik daun. Muda-mudi usia milenial (20-40 tahun) bahkan generasi Z (di bawah 19 tahun), kini mulai semakin gandrung terhadap jenis investasi minim risiko tersebut.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), salah satu surat berharga negara syariah (SBSN) ritel alias sukuk seri SR013 yang diterbitkan tahun ini sempat diburu oleh 44.803 investor. Dari jumlah ini, sebanyak 36,23% atau 16.234 orang merupakan investor baru.

Menariknya, 44,92% investor baru tersebut merupakan kalangan milenial. Sehingga dengan tambahan itu, generasi milenial pun semakin mendominasi pembelian SR013 dengan total 16.392 orang atau 36,59% dari keseluruhan investor sukuk ritel tersebut.

Di luar kalangan milenial, ada juga sebanyak 291 investor dari generasi Z yang sudah mulai berani berinvestasi di obligasi ritel. Rerata anak generasi Z ini berinvestasi dengan nominal Rp433,48 juta. Total investasinya mencapai Rp126,4 miliar dari seluruh hasil penjualan SR013.

Makanya, tidak aneh jika SR013 pun berhasil mencetak rekor penjualan terbesar dan investor terbanyak sejak SBN ritel online diterbitkan pertama kali pada 2018. Total, penjualan SR013 ini mencapai Rp25,67 triliun, melampaui target pemerintah yang hanya Rp21 triliun.

Plt Direktur Surat Utang Negara (SUN) DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan mengungkapkan, hingga 6 Oktober 2020, jumlah investor untuk SBN ritel telah mencapai 204.959 orang. Jumlah ini meningkat 30,3% dibandingkan investor ritel pada akhir 2019 yang hanya 157.297 orang.

Bertambahnya jumlah investor baru ini tak pelak semakin menurunkan porsi kepemilikan asing atas obligasi ritel negara. Akhir tahun lalu, kepemilikan asing masih berada di level 37%. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 41%. 

“Saat ini kepemilikan asing di SBN tradable domestik sekitar 26,9% dari total SBN tradable yang beredar,” ungkap Deni kepada Alinea.id.

Tercatat hingga September 2020, pemerintah telah menerbitkan setidaknya 4 seri SBN Ritel dengan nilai Rp58,4 triliun. Keempat seri tersebut, antara lain saving bond ritel (SBR) seri SBR009, Sukuk Ritel seri SR012, ORI017 dan SR013.

Terbaru, pemerintah juga menerbitkan obligasi ritel seri ORI018 dengan tenor 3 tahun dan kupon 5,8%. ORI018 masih dalam masa penawaran hingga 21 Oktober mendatang.

Dengan begitu, total SBN yang telah diterbitkan pemerintah dan masih beredar di masyarakat saat ini sudah menyentuh Rp153,8 triliun. Terdiri dari SUN Ritel senilai Rp72,4 triliun (47,1%) dan SBSN Ritel sebesar Rp81,4 triliun (52,9%).

Rencananya, sambung Deni, pemerintah akan kembali menerbitkan dua seri SBN ritel lagi pada kuartal-IV 2020. Dua seri itu adalah sukuk tabungan (ST) dan instrumen baru cash waqf linked sukuk (CWLS).

“Di samping itu, saat ini sedang dikaji lebih mendalam mengenai rencana pemerintah untuk menerbitkan Diaspora Bonds, yang ditujukan kepada individu masyarakat diaspora Indonesia,” jelas Deni.

Meningkat karena penjualan online

Deni menilai meningkatnya pembeli obligasi pemerintah di segmen muda-mudi tak lepas dari inovasi pemerintah yang menggunakan kemajuan teknologi. Semula, obligasi pemerintah hanya dipasarkan secara offline.

"Dengan kemudahan transaksi secara online, mampu menyerap semakin besar investor SBN Ritel, terutama generasi muda," tambahnya.

Terbukti pada tahun 2018, jumlah pemesanan SBN ritel online selalu di atas target. Penerbitan SBN Ritel online seri SBR004 dan ST-02 misalnya, mencapai 16.235 investor milenial atau 42,56% dari total investor. Jumlah ini naik 25% dari format pemasaran secara offline.

Di sisi lain, bertambahnya investor ritel juga  berkontribusi pada menurunnya porsi kepemilikan asing dari 41% di awal tahun 2018 menjadi 37% di akhir tahun.

"Dengan penerbitan SBN Ritel, akan semakin banyak masyarakat yang sadar dengan investasi sekaligus mendukung peran pemerintah dalam pembiayaan pembangunan," ungkapnya.

Menguntungkan mitra distribusi

Tidak hanya untuk pemerintah, laju pertumbuhan investor SBN yang cukup tinggi ini juga rupanya dirasakan oleh sejumlah mitra distribusi obligasi pemerintah. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) misalnya, berhasil mencatatkan total 3.451 investor untuk pembelian SR013. Angka ini meningkat 200% jika dibandingkan investor obligasi ritel pemerintah yang bertransaksi melalui BRI sepanjang 2019.

Ilustrasi. Pixabay.com.Direktur Konsumer Bank BRI Handayani menyebut, jumlah investor ini didominasi oleh kalangan tua atau generasi X (1961 – 1980) yang mencapai 50%. Disusul generasi milenial dan Z (1981 – 2005) sebanyak 28%. Lalu angkatan baby boomers (1920- 1960) sebesar 22%.

“Dengan total penjualan sebesar Rp3,5 triliun,” terang Handayani melalui pesan singkat kepada Alinea.id, pekan lalu.

Handayani menilai, tingginya jumlah investor milenial ini telah menunjukkan kedalaman instrumen obligasi pemerintah dalam menyaring generasi muda. Sehingga dengan demikian, tidak aneh jika kini mulai terjadi pergeseran dominasi investor dari kalangan tua ke kalangan muda.

Karena itu, dia pun meyakini bahwa penjualan SBN terbaru pemerintah, yakni ORI018 juga bakal meraih antusiasme besar dari masyarakat. Handayani menyebut, investor pasti tidak akan mau melewatkan investasi di instrumen yang menguntungkan dan aman.

“ORI018 merupakan seri penutup untuk obligasi negara yang tradable sehingga kami yakin potensi penjualan masih tinggi,” ungkap dia.

Setali tiga uang, PT CIMB Niaga Tbk. (BNGA) juga turut merasakan dampak yang positif dari penjualan obligasi ritel pemerintah tahun ini. Direktur Consumer Banking Cimb Niaga Lani Darmawan mengungkapkan, transaksi obligasi ritel di CIMB Niaga untuk SR013 mencatatkan penjualan Rp600 miliar.

Pembeli obligasi ritel melalui CIMB Niaga terdiri dari pelbagai segmen usia. Namun belakangan, sambung Lani, geliat investor milenial mulai terlihat semenjak CIMB Niaga menerapkan sistem pembelian SBN melalui kanal digital OCTO Mobile.

Ini merupakan kanal one stop mobile financial solution yang ditawarkan CIMB Niaga bagi investor agar bisa lebih mudah melakukan investasinya.

“Pembeli obligasi retail di CIMB Niaga terdiri dari berbagai segmen usia. Tetapi mulai meningkat juga milenial karena akses lewat digital,” terang Lani singkat kepada Alinea.id.

SBN vs Saham

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat menilai, tumbuhnya investor milenial pada instrumen investasi obligasi ini merupakan suatu yang sangat ‘matching’ dengan kebutuhan pemerintah.

Di satu sisi, pemerintah membutuhkan utang untuk menutupi defisit fiskal yang mencapai 6,34%. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan instrumen investasi yang aman untuk bertahan (defensive).

“Jadi bagus ‘kan ketemu nih. Negara butuh duit, kita butuh aset,” kata Budi kepada Alinea.id.

Dengan kondisi ekonomi yang sedang carut-marut karena pandemi ini, Budi menilai bahwa obligasi ritel pemerintah merupakan investasi paling aman dan menguntungkan. Apalagi, di saat investasi lainnya cenderung punya volatilitas tinggi seperti misalnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Maka itu, jika dibandingkan investasi saham, instrumen obligasi ritel ini jauh lebih menarik. Kendatipun saat ini harga saham-saham blue chip sedang terdiskon, tetapi ke depannya risiko atas kinerja saham masih tidak bisa ditebak mengingat kondisi ekonomi yang belum dapat dikatakan membaik.

Sedangkan, obligasi ritel cenderung aman karena pembayaran kuponnya sudah dijamin pemerintah. Selain itu, risiko negara bangkrut juga kecil. Ditambah suku bunga acuan dari Bank Indonesia atau BI 7-days repo rate yang juga diprediksi bakal terkoreksi lagi mengingat saat ini penyaluran kredit perbankan juga masih kecil.

“Kalau BI nurunin bunga. Pemerintah pun nanti kalau menerbitkan SBN yang baru, itu dengan bunga yang lebih rendah,” kata dia.

Dengan demikian, investor obligasi ritel pemerintah pun bisa mendapatkan keuntungan jumbo. Pasalnya, turunnya suku bunga dan semakin murahnya harga SBN bakal memberi dampak besar untuk potensi capital gain yang didapatkan investor obligasi.

Perlu diingat, kata Budi, bahwa keuntungan dari investasi obligasi ritel bukanlah hanya pada nilai kuponnya saja. Melainkan juga pada potensi capital gain saat dijual di pasar sekunder.

Misalnya, Budi memerinci, investor membeli obligasi ritel dengan tenor 10 tahun dengan kupon bunga 7%. Lalu pada waktu 2 tahun, dia ingin menjual obligasi itu karena membutuhkan dana tunai.

Maka investor bisa melepasnya di pasar sekunder dengan harga acuan yang berlaku. Ketika harga acuan yang berlaku lebih tinggi, maka saat itu pula investor sudah bisa mendapatkan keuntungan dari capital gain-nya.

“Karena suku bunga turun, ternyata harganya naik dari 100 menjadi 106, dan yang bersangkutan mau merealisasikan. Jadi dia untungnya itu sebetulnya 7%+6%. Jadi 13%,” pungkas Budi.

Berita Lainnya
×
tekid